(Bukan) Kolam Susu

Tahun 2012, ditemani 2 rekan kerja dan 2 petugas pambut (sebutan untuk perahu mesin tradisional berukuran kecil), perjalanan dari daratan Sangir ke ke Pulau Lipang kami tempuh dalam waktu hampir 2,5 jam. Selama itu, saya hanya pasrah, terombang-ambing dalam sebuah perahu kecil yang mestinya hanya untuk menampung 3 orang. Aku, berada di titik antah berantah. Otakku tak mampu memperkirakan dimana persisnya aku berada saat itu, tak ada Lipang di peta Indonesia. 
Kolam Susu, media penampung air hujan di Pulau Lipang
Pulau Lipang, adalah nama sebuah Kampung di kecamatan Kendahe, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Di peta, Pulau Lipang adalah titik paling utara di kepulauan Sangihe. Berjarak sekitar 142 Mil dari ibukota provinsi Sulawesi Utara, Manado. Pulau Lipang mempunyai luas wilayah 3 Km bujur sangkar atau 9 hektar, berada dalam lintasan pelayaran yang menghubungkan daratan pulau Sangihe dengan daratan Mindanao Philipina

Tidak seperti Bunaken, nama pulau Lipang cenderung asing di telinga masyarakat Indonesia. Kontras dengan fakta di perbatasan Indonesia dan Philipina sana, Lipang terkenal sebagai daerah transit nelayan Mindanao yang hendak memburu sumber laut di perairan Sangihe. Di  Lipang, nelayan asing Mindanao bisa menetap berhari-hari, tanpa syarat administrasi apapun.
Masyarakat Lipang, menempatkan laut sebagai sumber utama kehidupan. Sementara daratan kecil yang mereka tinggali adalah alternatif sumber penghidupan pada kondisi cuaca ekstrem. Dengan kondisi tanah yang bebatuan dan kering, tak banyak yang bisa diharapkan dari hasil perkebunan kecuali Kelapa dan beberapa jenis tanaman lainnya yang ditanam di antara celah bebatuan.
Sejak lama penduduk Lipang telah membangun sistem nilai tertentu sebagai wujud penyesuaian (Coping mechanism) terhadap kehidupan yang bergantung kepada laut. Kehidupan masyarakat Lipang berawal dari bencana erupsi Gunung Awu tahun 1711. Saat itu letusan yang diikuti oleh medalulung (tsunami/ombak besar) menghancurkan ibukota Kerajaan Kendahe di Makiwulaeng. Sebagian penduduk kerajaan yang selamat mengungsi ke Lipang. Melihat perairan Lipang yang kaya oleh berbagai jenis ikan, mereka memutuskan untuk tinggal di sana. Sejak itulah Lipang menjadi pulau berpenghuni, tidak hanya sebagai tempat persinggahan nelayan.
Sayangnya, hingga kini Kampung Lipang belum mengalami banyak kemajuan dari sisi layanan publik. Termasuk ketidakhadiran layanan listrik, keterbatasan fasilitas kesehatan, transportasi juga air bersih. Tapi warga tak tinggal diam, untuk bertahan di tengah keterbatasan, warga Lipang mengembangkan pola  pengamanan kebutuhan pokok mereka secara komunal atau berbasis keluarga.
Untuk kebutuhan air bersih misalnya, berbekal pengalaman dan pengetahuan yang ada warga mengembangkan manajemen pengelolaan air secara bertingkat. Dimulai dari pemanfaatan air hujan melalui Penampungan Air Hujan (PAH). Bak penampung air hujan adalah milik keluarga, hanya anggota keluarga yang boleh menggunakannya. Bila air di bak penampung habis, warga mengandalkan sumber air tawar di daratan Kendahe atau Talawid di Sangir Besar. Tapi akses ke daratan sangir sangat bergantung pada kondisi cuaca.
Sebagai alternatif sumber air lainnya, warga menciptakan kolam susu atau sumur dangkal untuk menampung air hujan. Penamaan kolam susu bukan karena kondisi air yang sering berwarna kecoklatan, melainkan gambaran betapa  istimewanya kolam tersebut bagi warga. Kolam susu telah menjadi sumber air bersih warga untuk mencuci dan mandi warga sejak tahun 1980an, hingga kini.
Kolam susu dikelola secara komunal oleh beberapa tetangga terdekat yang tidak memiliki  bak penampung. Air di kolam susu bisa bertahan selama 2 minggu jika hujan tak turun. Jika kolam susu mengering, warga akan beralih ke sumur payau di pantai dengan pengaturan setiap keluarga hanya boleh menggunakan dua galon ukuran 20 liter/hari. Langkah  terakhir adalah memanfaatkan air di danau mala yang merupakan tempat beternak ikan secara komunal.
Bila air sumur payau atau danau mala telah habis, maka laut menjadi pilihan untuk kebutuhan mencuci dan mandi. Hal ini pernah terjadi tahun 2001, saat kekeringan panjang melanda selama 8 bulan. Sementara untuk air minum, warga akan mengandalkan air kelapa. Ini adalah siasat yang diterapkan sebagai cadangan pada kondisi krisis.
Sebagai pulau kecil yang terpisah dari daratan utama, iklim memberikan pengaruh determinan kepada penduduk  yang mayoritas bermata pencaharian dan bergantung pada luar pulau. Iklim Lipang dipengaruhi oleh angin muson barat dan muson selatan. Menurut Schmidt dan Ferguson ini adalah adalah Type iklim A (iklim basah). Pada saat muson barat dan musin selatan angin bertiup sangat kencang, menjadikan akses ke luar pulau riskan dilakukan. Kondisi tersebut bisa berlangsung cukup lama. Menurut keterangan warga, kejadian ekstrim bisa berlangsung cukup lama; berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Pengaruh perubahan iklim bisa berdampak serius saat berbaur dengan keterbatasan akses sarana dan prasarana. Meningkatnya ancaman bencana akibat perubahan iklim dan tingginya kerentanan bisa jadi tidak berimbang dengan kapasitas yang dimiliki. Jika ini terjadi, maka keselamatan komunitas menjadi taruhan. 
Upaya bertahannya warga Lipang, sejatinya menjadi cambuk bagi pendekatan pembangunan Indonesia yang masih bias darat. Lipang, hanyalah contoh kecil potret kondisi pulau-pulau kecil dan perbatasan di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, banyak warga di pesisir dan pulau kecil lain alami kondisi serupa. 

Adalah mustahil, jika niat mewujudukan Indonesia sebagai negara bahari yang sejahtera dan bermartabat, tak disertai oleh upaya yang terpadu dalam membangun ketangguhan masyarakatnya, termasuk memastikan jaminan terpenuhinya kebutuhan air bersih sebagai kebutuhan mendasar. Dan memahami persoalan perubahan iklim ternyata tak sesederhana memperdebatkan teori kebenaran global warming dan perubahan iklim.

No comments:

Post a Comment