Mau Selamat, Adaptasi..!

Doc. Bingkai Indonesia
Hujan yang biasa menjadi dambaan, kini begitu menjengkelkan. Pak Hasan, hanya bisa termenung melihat tumpahan air dari langit yang tak kunjung berhenti. Hati kecut mengingat bibit padi yang telah siap tanam. Akankah mengalami gagal tanam seperti tahun sebelumnya? Karena lahan pertanian yang tidak seberapa tergenang parit yang biasanya setia mengairi sawahnya dan mengantarkan kegembiraan saat panen tiba.

Hasan Petani dari Aceh Timur, hanya satu dari 46,7 juta jiwa petani di Indonesia yang mengalami kebingungan menghadapi berubahnya musim. Musim yang biasanya dapat dengan mudah diprediksi kapan datangnya; baik musim hujan maupun kemarau, kini begitu mistrius. Petani sering terkecoh. Hujan yang awalnya begitu rutin, tiba-tiba berhenti dan tak lagi datang sama sekali. Saat musim hujan betul-betul datang, dimana masa tanam akan dimulai, penanaman tidak begitu saja dapat dilakukan. Karena ancaman banjir menjadi momok. Jika pun dipaksa, kecil kemungkinan tanaman tersebut selamat sampai panen. 

Persoalan petani saat ini bertambah kompleks.  Belum selesai persoalan ketersediaan modal, ketersediaan pupuk dan pestisida dan harga jual yang layak, kini muncul masalah baru. Masalah yang lebih serius karena mengancam kehidupannya yang paling mendasar. 


Pemanasan Global Sebagai Sebab
Salah satu implikasi dari pemanasan global adalah kacaunya sistem iklim. Musim hujan atau kemarau lebih panjang, curah hujan atau kekeringan lebih ekstrim, potensi badai atau angin ribut lebih besar. Adanya kerusakan ekosistem atau fungsi alam akan semakin memperparah kondisi suatu daerah karena hilang atau berkurangnya fungsi alamiah  dalam menyeimbangkan kondisi tersebut.

Kejadian-kejadian banjir, banjir bandang, longsor, dan angin puting beliung di banyak wilayah Indonesia adalah fakta ketidak mampuan lingkungan sekitar menyeimbangkan iklim yang ada. Ancaman tersebut menjadi bencana ketika berhimpit dengan kerentanan dan lemahnya kapasitas penduduk dalam mensikapi ancaman dan efek perubahan iklim. Atau ketidaksiapan dalam bertindak menyebabkan ancaman menjadi petaka.

Informasi akan terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global telah menjadi pembicaraan sejak tahun 80-an. Jauh sebelumnya, Joseph Fourier pada tahun 1824 telah mengenalkan proses pemanasan permukaan benda langit, termasuk bumi yang disebabkan komposisi keadaan atmosfir. Informasi yang seram dan menakutkan itu, justru direspon negatif seolah-seolah hanya mimpi buruk penghias tidur. Akibatnya, upaya mitigasi dan kesiapsiagaan menjadi terabaikan.

Pemanasan global secara alamiah akan terjadi mengiringi perputaran bumi. Punahnya kehidupan masa lalu adalah bukti, bagaimana pemanasan global akan tetap terjadi sekalipun tanpa intervensi manusia. Namun, pemanasan global dengan adanya campur tangan manusia yang mengabaikan lingkungan mempercepat proses tersebut. Menumpuknya gas rumah kaca seperti Karbondioksida, Nitrogen Oksida, Metana dll. secara signifikan menyebabkan kenaikan suhu antara 1 - 5 derajat celcius. Suhu bumi akan mengalami kenaikan 1,5 - 4 derajat celcius pada tahun 2030 jika tidak dilakukan upaya pengurangan produksi emisi oleh berbagai aktifitas manusia. 

Akibatnya, akan terjadi pencairan es di kutub dan gunung-gunung bersalju  seperti himalaya, alpen, kalimanjaro, cartenz pyramid dll. Mencairnya es akan menyebabkan naiknya air laut. Pemanasan global sendiri menyebabkan meningkatkan suhu air laut sehingga menyebabkan air laut, pulau-pulau kecil akan tenggelam, garis pantai akan bergeser dan penduduk yang mendiami wilayah pesisir terpaksa mengungsi ke wilayah-wilayah yang lebih tinggi.

Begitu besar pengaruh pemanasan global terhadap kondisi bumi. Dan prediksi-prediksi yang menakutkan tersebut sebagian telah terbukti. Beberapa kampung nelayan menjadi rutin di kunjungi air laut. Bahkan beberapa desa  seperti di pesisir Demak Jawa Tengah telah dinyatakan hilang akibat ditinggal oleh penduduknya mengungsi. 

Perubahan iklim adalah perkara serius. Namun dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sehingga tidak menjadi bencana. Mitigasi dan kesiapsiagaan merupakan kunci - bagaimana efek perubahan iklim dan ancaman yang ada tidak berujung menjadi bencana. Adaptasi adalah pendekatan mensikapi ancaman yang telah di depan mata. 

Kembali pada rumus bencana, bencana akan terjadi jika ancaman (bahaya) bergabung dengan kerentanan. Besar kecilnya risiko bencana ditentukan oleh seberapa besar kapasitas dalam mensikapi ancaman dan kerentanan yang ada. Konsepsi sederhana ini menjelaskan - global warming tidak sama dengan gunungapi, tsunami atau gempa. Global warming yang memicu hujan menjadi ekstrim dan menyebabkan banjir atau longsor harus direspon dengan kemampuan menyesuaikan diri  penduduk terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan. Penyesuian ini tidak hanya dalam kontek jiwa (menyelamatkan jiwa), tapi seluruh aset kehidupan (human, social, physic, nature, and financial).



No comments:

Post a Comment