Isra dan Ira, Mesra Sepiring Berdua

Ini adalah tentang Ira Sulfina dan Nurul Isra Hasan, dua cucu Wadang berparas manis. Nurul adalah anak bungsu Hasan, anak pertama Wadang. Sementara Ira merupakan anak Hasballah, anak laki ketiga Wadang. Cucu Wadang itu banyak, hitungan kasarku berjumlah 25 orang. Tapi dari semua cucu, Ira dan Nurul punya keunikan tersendiri. Hal mana perlu saya tulis, sebab belum ada media yang mau meliput mereka.


Ira dan Nurul sama-sama berusia 25 tahun saat ini, sudah tua ternyata. Ira berusia 6 bulan lebih tua dari Ira, ah Ira ternyata lebih tua lagi. Keduanya berbadan sehat, iya sehat, bukan gendut. Ada perbedaan yang sangat kentara antara berbadan sehat dengan berbadan gemuk, kau mesti paham itu jika tidak mau menuai omelan dari Ira dan Nurul.

Ira dan Nurul sudah akrab sejak kecil. Mereka sering main masak-masakan berdua. Teras rumah kami sering berantakan oleh piring dan periuk masak mainan milik mereka. Jika sudah bosan bermain, mereka pasti pindah ke depan televisi, tidur sebantal berdua dengan mata menatap lurus ke depan layar televisi. Ira, biasanya menonton sambil salah satu tangannya memegang botol dot berisi teh manis. Nurul tidak begitu, dia lebih dewasa satu langkah dari Ira dalam hal ngedot.

Setelah hubungan keduanya sedikit renggang akibat Nurul masuk TK, semnetara Ira tidak, kedua bocah itu kembali dipertemukan di bangku kelas 1 Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) Blang Nie. Duduk sebangku, keduanya jadi murid berprestasi kesayangan Ibu Tarbiyah,  Ibu Fatimah dan Pak Ibrahim. Tidak hanay di sekolah, sepulang sekolah, mereka kembali dipertemukan di TPA Babussalam tempat pengajiannya. Sepulang ngaji, mereka pun masih berdua lagi, main masak-masakan atau sekedar nonton. Yang aku ingat, setiap sore, saat aku masih bergumul dengan mainan mobil di tumpukan pasir, dua bocah itu selalu sudah rapi, dengan bedak over dosis di pipi. Itu sebab, Kakak sepupuku, kak Dek Na, selalu senang mengajak mereka jalan-jalan sore. Aku, tak pernah diajak karena selalu kucel.

Seolah tak siap berpisah, keduanya kembali melanjutkan sekolah di tempat yang sama, MTsN Simpang Ulim, sekolah favorit dan kebanggaan keluarga. Ira dan Nurul, meskipun tidak ditempatkan di sekolah yang sama, tapi masih selalu ke sekolah bersama-sama, mengerjakan PR bahkan makan bersama, sepiring berdua. Hal mana membuat kami sekeluarga maklum, bukan karena makan mereka sedikit, tapi memang begitulah mereka. Mesra.

Lulus dari MTsN, Nurul dan Ira sempat melanjutkan ke sekolah yang sama di darul Ulum. Tapi kira-kira di bulan kedua, Nurul memutuskan untuk pindah sekolah, yang lebih dekat dengan keluarga. Aku ingat, betapa sedih keduanya karena harus berpisah, sebab pada dasarnya mereka tak mau dipisahkan. Sungguh disayangkan, bukan?

Aku sempat berpikir itulah akhir dari kemesraan mereka. Bukankah jarak selalu jadi persoalan bagi banyak hubungan? Ira pun masih selalu sedih di beberapa bulan pertama setelah ditinggalkan Nurul. Tapi sungguh, hubungan keduanya tak goyah. Hubungan Nurul dan Isra, masih saja mesra seperti biasanya. Aku sempat terkesima, saat libur puasa melihat Nurul buka puasa bareng Ira, makan sepiring berdua, minum di 1 gelas yang sama. Sambil gantian berbagi cerita tentang guru dan cowok di sekolahnya masing-masing. Ya, dari dulu hingga kini selalu ada topik yang sama dari obrolan mereka, si gam jeh alias cowo itu.

Kini, keduanya semakin tua. Masing-masing sudah  lulus dari kuliah dengan jurusan berbeda. Ira lulusan Pendidikan Bahasa Inggris dan Nurul lulusan pendidikan kebidanan. Ira masih beraktivitas di Banda Aceh, sementara Nurul beraktivitas di Langsa sambil juga mengelola TK rintisan keluarga. Setiap keduanya bertemu, kemesaraan dan keceriaan selalu mewarnai keduanya. Satu yang pasti, obrolan seputar cowo selalu jadi salah satu topik.

Mereka juga selalu rutin saling update kondisi dan posisi masing-masing. Termasuk ketika salah satu atau keduanya daam kondisi duka, patah hati. Saat Ira down karena suatu hal, Nurul mengingatkan Ira untuk bersabar. Begitu juga ketika Nurul kecewa, Ira dengan setia akan memotivasi Nurul,  untuk melupakan hal yang mengecewakan itu. Keduanya selalu kompak untuk perkara makan. Meski keduanya sudah terikat komitmen diet, tapi saat mereka bertemu, tak ada apapun yang bisa halangi mereka dari menyantap Mie Bakso Bata Puteh atau Nicah Awee. Itu mutlak bagi keduanya.

Hebatnya lagi, mereka bisa makan berkali-kali dalam sehari. Meski hanya mengandlakan satu piring, bukan berarti makan mereka sedikit. Satu piring untuk 4 kali nambah. Ah, tak perlulah aku terlalu detil untuk hal itu.


Semoga mereka akan terus mesra sampai tua. Jika pun nanti karena satu dan lain hal hubungan mereka sedikit renggang, semoga tidak, aku berharap tulisan ini bisa jadi pengingat, bahwa mereka pernah hidup bersama, suapa-suapan makan siang sepiring berdua, sambil menertawakan beberapa laki yang mereka tolak cintanya.

No comments:

Post a Comment