Pangan dan Ketahanan Pulau Kecil


Perubahan iklim kini bak sosok hantu. Gambaran dampak buruknya begitu nyata; meningkatnya ancaman bencana, sebaran wabah, hama, hilang atau terganggunya mata pencaharian, terancamnya ketersediaan stok pangan, krisis air bersih sampai hilangnya pulau-pulau karena kenaikan muka air laut.
Sagu, salah satu makanan pokok di Maluku (Ina, 2015)    

Intensitas kejadian bencana yang semakin meningkat menjadi persoalan banyak negara. Tidak saja negara miskin atau berkembang seperti Indonesia, negara maju pun dibuat panik. Banjir di Australia atau Tornado di Amerika merupakan potret, bahkan negara-negara maju pun tidak mudah menghadapinya.  Tak saja mengakibatkan korban jiwa, kerusakan dan kerugian pun begitu besa.

Di Indonesia, proyeksi kenaikan muka laut hingga tahun 2100 diperkirakan mencapai 1,1 meter. Kondisi ini dapat berdampak pada hilangnya daerah pantai dan pulau-pulau kecil seluas 90.260 km2. Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis temuannya antara tahun 2005 dan 2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil: 3 pulau di Nanggroe Aceh Darussalam, 3 di Sumatera Utara, 3 di Papua, 5 di Kepulauan Riau, 2 di Sumatera Barat, 1 di Sulawesi Selatan, dan 7 di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Kenaikan permukaan air laut bisa berdampak lebih besar saat berbaur dengan ancaman lain seperti malaria, DBD, kekeringan, banjir, badai dan gelombang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa delapan tahun terakhir, bencana hidrometeorologis saja telah menewaskan 4.936 orang. Menyebabkan 17,7 juta orang menderita dan mengungsi, ratusan ribu rumah rusak, dan lebih dari 2,5 juta rumah terendam banjir. Dalam kurun waktu yang sama bencana geologi juga telah menewaskan sekitar 200.000 jiwa [1].
Pangan adalah salah satu sektor yang paling terancam sekaligus berperan penting dalam ketahanan sesorang maupun komintas atas berbagai ancaman dan pengaruh perubahan iklim. Perubahan iklim mendorong pergeseran musim maupun intensitasnya. Salah satu karakteristik yang muncul adalah musim hujan yang lebih pendek dengan curah hujan lebih tinggi serta kemarau yang lebih panjang dan kering.Kondisi ini berdampak padapola produksi pangan. Ancaman sektor pertanian tidak saja gagal panen dengan berbagai sebab, tapi juga gagal tanam.
Demikian juga pada sektor perikanan. Menyusutnya produksi pangan akan berkorelasi dengan harga yang lebih tinggi. Menyulitkan sebagian orang memenuhi kebutuhannya akan pangan. Tidak hanya karena faktor ekonomi, tapi juga keterbatasan akses wilayah dan cuaca.
Persoalan krisis pangan akan semakin nyata pada wilayah dengan akses terbatas. Masyarakat kepulauan misalnya, dimana sumber pangan saat ini dipenuhi dari luar pulau. Diversifikasi pangan yang sebelumnya ada dan menjadi bagian dari ketahanan pangan saat ini nyaris tak berbekas. Beras adalah satu-satunya jenis pangan yang dikonsumsi. Celakanya, beberapa wilayah tidak mampu memproduksinya karena ketidaksesuaian tanaman ini untuk dibudidaya. Alhasil, seluruh kebutuhan akan beras dipasok dari luar wilayah.
Terganggunya akses transportasi menuju sumber pasokan akibat cuaca buruk atau tergangganggunya mata pencaharian penduduk kepulauan merupakan ancaman serius. Sementara tidak sedikit penduduk Indonesia yang menempati pulau-pulau kecil sebagai pemukiannya.

Ketahanan Pangan, Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana
Ketahanan pangan mengacu pada kondisi di mana setiap orang memiliki kemampuan baik secara  fisik maupun ekonomi terhadap pemenuhan pangan yang cukup, aman dan bergizi, untuk memenuhi kebutuhan gizi harian agar dapat hidup sehat [2]. Gangguan terhadap ketahanan pangan di suatu negara dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi, gejolak sosial dan politik. Semisal saat meroketnya kenaikan harga pangan Indonesia saat krisis ekonomi tahun 1997/1998 berkembang menjadi krisis multidimensi dan memicu konflik sosial.
Ketahanan pangan berperan penting dalam upaya adaptasi perubahan iklim dan penguranagn risiko bencana. Kerentanan seseorang atau suatu komintas terhadap ancaman bencana sangat dipengaruhi salah satunya oleh ketersediaan pangan. Tidak terpenuhinya kebutuhan pangan sebelum, saat atau setelah bencana akan berpengaruh pada tingkat risiko bencana yang ada. Risiko bencana akan meningkat atau muncul saat kondisi pangan tidak terpenuhi. Ancaman bencana sendiri juga dapat mengancam ketersediaan pangan.
Pada banyak kasus, konflik sosial terpicu karena krisis pangan. Kerusuhan Mei 1998 salah satu faktor, selain kondisi politik yang ada, juga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pangan akibat harga yang naik berkali lipat. Sementara lapangan pekerjaan atau pendapatan tetap atau bahkan hilang pekerjaan. Pada penanganan bencana, aksi penjarahan atau membajak bantuan juga lebih karena desakan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan.
Kejadian bencana gempa bumi dan tsunami Mentawai 2010 menjadi spesifik untuk dicermati. Mentawai, sebagai bagian Kabupaten dari Provinsi Sumatera Barat mengalami kendala cuaca saat tanggap darurat dilakukan. Prinsip penanggulangan bencana yang cepat dan tepat, menjadi sulit dilakukan. Distribusi logistik terganggu  karena dukungan dari luar untuk melakukan kerja-kerja pengananan tanggap darurat terkendala jarak dan cuaca. Sementara, ketahanan atau ketangguhan untuk menghadapi krisis belum dilakukan dengan baik. Baik memenuhi kebutuhan pangan, air bersih, pelayanan kesehatan maupun proses evakuasinya.
Kondisi ini menjadi sangat krusial untuk dicermati dan menjadi pertimbangan bagi Indonesia sebagai Negara kepulauan. Mentawai hanyalah salah satu dari ribuan pulau Indonesia. Masih terdapat banyak penduduk yang tinggal di pulau-pulau kecil dan memiliki bahaya/ancaman beragam. Bencana yang terjadi seperti kasus Mentawai adalah cerminan, bagaimana bencana geologis berpadu dengan cuaca buruk yang mempunyai korelasi erat sebagai dampak dari perubahan iklim.
Sistem penanggulangan bencana menjadi penting menyatu dengan kebijakan dan sistem pembangunan lain dalam memperkuat resilensi warga Negara kepulauan. Dari mulai peningkatan kapasitas SDM, pengelolaan tata ruang, pengelolaan SDA, membangun akses informasi, pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur maupun kebijakan-kebijakan yang menjamin penanggulangan bencana; sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana. Terjaminnya kebutuhan pangan komunitas kepulauan kecil akan mempengaruhi tingkat kerentanannya tehadap ancaman.

Pengembangan pertanian sebagai bagian dari rehab – rekon misalnya, semestinya disesuaikan dengan hasil kajian iklim. Tidak hanya atas dasar kesesuaian komoditas dengan budaya local, tapi bagaimana ke depan kondisi iklimnya, tanaman dan jenis apa yang sesuai, ketersediaan air, hama yang cenderung meningkat dll. demikian juga dengan infrastruktur yang dibangun disesuaikan dengan proyeksi perubahan iklim. Dalam kontek mitigasi atau preventif juga demikian. 


Jika sebuah wilayah sudah tidak mungkin di tempati lagi untuk jangka panjang, kenapa harus investasi besar-besaran? Pilihan relokasi menjadi alternatif. Atau tetap tinggal dengan mengetahui proyeksi ancaman. Sehingga mata pencaharian, tata ruang, bentuk bangunan harus disesuaikan untuk ke depan.   

Referensi
[1]  BNPB, Rekapitulasi Data dan Informasi Bencana Indonesia, diakses pada tanggal 26 Desember 2011, pukul 13.24 WIB dari http://dibi.bnpb.go.id

[2] Undang Undang No. 7 tahun 1996 tentang    Pangan.

[3] Khudori, Makalah Sistem Pertanian Pangan Adaptif Perubahan Iklim, 2011. Hal. 4.




No comments:

Post a Comment