INI bukanlah saat yang pas untuk bicara bencana. Apalagi kalau
itu berkaitan dengan Seuramo Mekkah, Aceh. Meskipun berita banjir dan kebakaran
kerap mewarnai halaman koran dan media televisi, tak banyak yang mengangkat isu
ini lebih serius dari sekedar laporan kejadian dan jumlah korban. Tapi
menjelang akhir tahun nanti, pastilah kantor pemerintah dan LSM, kampus sampai
warung kopi akan ramai dengan workshop, dialog dan ragam acara lain bertajuk
“Refleksi 12 Tahun Tsunami”.
Setelah itu, yakinlah diskusi akan berganti dengan topik lain
yang lebih hangat, perayaan Valentine, peduli sampah nasional, atau pilkada,
misalnya. Sungguh celaka kiranya jika setelah peristiwa tsunami 2004, kita
menganggap tidak perlu lagi memikirkan ancaman bencana yang ada di sekitar
kita. Satu pelajaran penting dari tsunami 2004 adalah bahwa kita tidak siap.
Dan, kita sadar akan itu.
Kita tidak paham perihal potensi gelombang tinggi pascagempa.
Tsunami adalah kata aneh yang pertama kali kita tahu, pada Minggu pagi, 26
Desember 2004 silam itu. Padahal Indonesia dan Aceh khususnya, sejak dulu
memang termasuk kawasan potensial gempa dan tsunami karena letaknya pada
pertemuan tiga lempeng raksasa Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik, serta
berada pada ring of fire (cincin api).
Pengalaman tsunami 26 Desember 2004 bukanlah hal pertama bagi
Aceh. Aceh pernah alami megastunami lebih dahsyat sejak 1.400 tahun lalu.
Tsunami Krakatau 1883 dan Jawa Timur 1994 adalah pengalaman lain yang terkubur
oleh sejarah. Akibatnya setiap kejadian bencana masih terus menelan korban jiwa
dan aset penghidupan warga.
Merawat ‘jawai’
Sebelas tahun, mestinya adalah waktu yang panjang untuk Aceh
belajar dan mempersiapkan diri membangun masyarakat dan lingkungan yang lebih
peka bencana. Waktu yang panjang untuk melihat seberapa besar kebijakan
pemerintah dan upaya yang telah dilakukan telah mampu mengelola ancaman bencana
yang ada dan berpotensi ke depan. Tidak hanya gempa dan tsunami, tapi juga
ancaman bencana lain semisal banjir, kebakaran, wabah, konflik satwa maupun
sosial.
Faktanya, kita masih merawat jawai atawa lupa kita. Pengalaman
tsunami, banjir bandang dan rentetan bencana lain tidak menempatkan Aceh lebih
baik, malah terlupakan begitu saja. Dari segi infrastruktur, sekilas Kota Banda
Aceh memang mengalami banyak perubahan, dan kita patut mensyukuri itu. Namun
bergerak sedikit saja ke arah pesisir Banda Aceh, bangunan-bangunan baru justru
tumbuh pesat di sana, di tapak tsunami 2004. Sebagian insfrastruktur mitigasi
tsunami justru tak terawat. Masyarakat pun cenderung abai dengan fungsinya.
Read more
No comments:
Post a Comment