Setelah gagal
menghabiskan pizza di mall sebelah, dia mengajak saya
singgah ngopi sebelum kembali masuk kotak apartment. Katanya dia
butuh kopi untuk obati perutnya yang kekenyangan. Aku tak paham logikanya.
Tapi, sebagai penggila kopi, aku menurut saja mengikuti langkah malasnya ke
salah satu tower Apartemen Kalibata City, mencari tempat ngopi yang
sekiranya menarik.
Kali ini kami memutuskan singgah di sebuah cafe yang bernuansa klasik dan pastinya tenang. Kecuali deru suara kendaraan dari luar komplek apartemen dan pengumuman dari stasiun kereta api seberang jalan yang memang tak pernah diam barang semenitpun. Saya tak paham betul bagaimana menyebut judul atau nama cafe ini dengan singkat. "The Living Room Dining, The Old Soul of Kopitiam, TLD, Terserah Loe Deh," Begitu kira-kira tulisan di papan yang menggantung di depan cafe.
Dia menunjuk tempat duduk
paling pojok dan palig sepi di sisi sebelah kanan cafe. Aku menurut saja, tak
mau banyak cing cong. Saat kekenyangan begini rupa, tak ada hal paling nyaman
bagiku selain rebahan di kamar dengan baju sedikit terangkat di bagian perut. Aku akan meletakkan tanganku di perut,
memastikan lemak di perut tak semakin menumpuk. Atau sekedar memeriksa, garis-garis halus pembentuk six pack masih ada.
Dia, mencampakkan begitu
saja barang-barangnya. Sebungkus rokok, korek dan kantong berisi buku yang
dibelinya di Gramedia setelah makan tadi. Tadi dia bersikap menjengkelkan,
berkali-kali mengutarakan "Kita singgah cari buku dulu di Gramedia".
Dikiranay aku lupa ama janji ke Gramedia karena hasrat pizzaku yang sudah
terpenuhi. Jengah dengan kalimat itu-itu terus, aku jawab "iya"
sekedarnya. Dalam benakku, "Pue i peugah ata sot sabee, hana ek ta o
sabee, payah tabloe mesin o saboh".
Setelah memesan 1 kopi
hitam Aceh dan 1 hot mocca, dia meraba buku "Dalam seperti dendam,
rindu harus dibayar tuntas" karya Eka Kurniawan. Baru beberapa detik,
tepat di halaman pertama, dia langsung ngakak. Katanya, "Memang bakai
kali si Eka ini kalau nulis...hahaha".
Aku pinjam bukunya,
membaca beberapa halaman. Iya, Eka menulis dengan sangat vulgar, menurutku.
Deskripsi penis Ajo Kawir yang terlalu detil memaksaku menyerahkan kembali buku
itu ke dia. Bukan jaim, tapi aku tak sanggup menahan tawa, membaca kalimat Eka
soal kemaluan Ajo Kawir yang tetap meringkuk, menciut diam meski dipancing
dengan cara apapun, termasuk photo sexy perempuan. Jika benar begitu, kasihan
betuk nasib Ajo Kawir. Aku prihatin.
Dengan tangan kanan
memegang buku "setengah porno" itu, dia meraba sebatang rokok
Sampoerna Mild, menggepitnya di mulut, meraba-raba korek hijaunya. Terlalu
fokus ke buku, dia tak sadar kalau korek itu tidak berada di posisi yang diraba
tangan kirinya. Lantas dengan payah dia berhasil meraih korek dan langsung
menyulut tembakau berbalut kertas itu.
Dia menghisap rokoknya
dengan nikmat. Aku bisa lihat dari matanya yang sedikit memicing saat asap
rokok ditarik ke dalam rongga mulutnya. Lantas rokok itu ditarik keluar dari mulutnya,
dijepit oleh jari tengah dan telunjuk kirinya. Jempol terlihat sedikit
mendongak ke atas, sementara jari manis dan kelingking menggantung ke bawah.
"Hahahahahaha...Eka
gilaaaaa"
Sesekali dia ngakak
selagi menjamah setiap halaman buku itu. Di lain waktu
dia terlihat sedikit tenang, mengusap kepalanya sendiri, menarik-narik
lembut rambutnya. Ya, walaupun Eka menulis dengan cukup vulgar, menyebut
nama dan bentuk alat vital, banyak ilustrasi adegan ranjang dan kata-kata kasar, ternyata
itu buku juga bisa buat pembacanya merasa marah, sedih atau tergugah. Dari
referensi yang aku baca, sebenarnya cerita-cerita burung Ajo Kawir yang
mengalami nasib tidur panjang itu adalah alegori kehidupan yang tenang dan
damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.
Aku belum sampai pada cerita cabe rawit yang digunakan Ajo Kawir untuk membangunkan sang burung.
Bagian itu membuatnya tak bisa menahan tawa lagi. Dia mengajakku pulang. Itu
buku memang pantasnya dibaca di kamar. Mari pulang dan tertawa sampai pagi :D
No comments:
Post a Comment