Perempuan secara sosial budaya lebih dekat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Perempuan juga secara kultural ditempatkan sebagai pengatur atau pengolah bahan pangan. Peran strategis perempuan dalam mengelola pangan berkorelasi erat dengan salah satu indikator ketahanan atau ketangguhan dalam adaptasi perubahan iklim maupun pengurangan risiko bencana. wilayah kepulauan kecil sebagai lokasi riset selain untuk memotret peran strategis perempuan dalam mendorong peningkatan ketahanan atau ketangguhan, juga menjadi bagian dari refleksi atas upaya pengurangan risiko bencana dan pembangunan yang sampai saat ini bias daratan.
Peran Perempuan dalam Membangun Ketahanan Pangan di Kepulauan Kecil
Oleh Ina Nisrina Hasballah
(Makalah Konferensi Nasional Pengurangan Risiko Bencana IX - Padang Pariaman 2013)
Pendahuluan
Perubahan iklim saat
ini bak sosok hantu menakutkan. Gambaran dampak buruk begitu nyata;
meningkatnya ancaman bencana hidrometeorologis, wabah, hama, hilang atau
terganggunya mata pencaharian, terancamnya ketersediaan stok pangan, krisis air
bersih sampai hilangnya pulau-pulau karena kenaikan muka air laut.
Intensitas kejadian
bencana yang semakin meningkat menjadi persoalan banyak negara. Tidak saja
negara miskin atau berkembang seperti Indonesia, negara maju pun dibuat panik
atas peningkatan intensitas ancaman bencana. Banjir di australia atau tornado
di Amerika merupakan potret, bagaimana negara-negara maju tidak mudah
menghadapinya. Kerusakan dan kerugian begitu besar. Korban jiwa pun tidak
sedikit.
Di Indonesia,
proyeksi kenaikan muka laut hingga tahun 2100 diperkirakan mencapai 1,1 meter.
Kondisi ini dapat berdampak pada hilangnya daerah pantai dan pulau-pulau kecil
seluas 90.260 km2. Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis
temuannya antara tahun 2005 dan 2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil:
3 pulau di Nanggroe Aceh Darussalam, 3 di Sumatera Utara, 3 di Papua, 5 di
Kepulauan Riau, 2 di Sumatera Barat, 1 di Sulawesi Selatan, dan 7 di kawasan
Kepulauan Seribu, Jakarta. Kenaikan permukaan air laut bisa berdampak lebih
besar saat berbaur dengan ancaman lain seperti malaria, DBD, kekeringan,
banjir, badai dan gelombang.
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa delapan tahun terakhir, bencana
hidrometeorologis saja telah menewaskan 4.936 orang. Menyebabkan 17,7
juta orang menderita dan mengungsi, ratusan ribu rumah rusak, dan lebih dari
2,5 juta rumah terendam banjir. Dalam kurun waktu yang sama bencana geologi
juga telah menewaskan sekitar 200.000 jiwa [1].
Pangan adalah salah
satu sektor yang paling terancam sekaligus berperan penting dalam ketahanan
sesorang maupun komintas atas berbagai ancaman dan pengaruh perubahan iklim.
Perubahan iklim mendorong pergeseran musim maupun intensitasnya. Salah satu
karakteristik yang muncul adalah musim hujan yang lebih pendek dengan curah
hujan lebih tinggi serta kemarau yang lebih panjang dan kering.Kondisi ini
berdampak padapola produksi pangan. Ancaman sektor pertanian tidak saja gagal
panen dengan berbagai sebab, tapi juga gagal tanam.
Demikian juga pada
sektor perikanan. Menyusutnya produksi pangan akan berkorelasi dengan harga
yang lebih tinggi. Menyulitkan sebagian orang memenuhi kebutuhannya akan
pangan. Tidak hanya karena faktor ekonomi, tapi juga keterbatasan akses wilayah
dan cuaca.
Persoalan krisis
pangan akan semakin nyata pada wilayah dengan akses terbatas. Masyarakat
kepulauan misalnya, dimana sumber pangan saat ini dipenuhi dari luar pulau.
Diversifikasi pangan yang sebelumnya ada dan menjadi bagian dari ketahanan
pangan saat ini nyaris tak berbekas. Beras adalah satu-satunya jenis pangan
yang dikonsumsi. Celakanya, beberapa wilayah tidak mampu memproduksinya karena
ketidak sesuaian tanaman ini untuk dibudidaya. Alhasil, seluruh kebutuhan akan
beras dipasok dari luar wilayah.
Terganggunya akses
transportasi menuju sumber pasokan akibat cuaca buruk atau tergangganggunya
mata pencaharian penduduk kepulauan merupakan ancaman serius. Sementara tidak
sedikit penduduk Indonesia yang menempati pulau-pulau kecil sebagai
pemukiannya.
Perempuan secara
sosial budaya lebih dekat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Perempuan juga
secara kultural ditempatkan sebagai pengatur atau pengolah bahan pangan.
Peran strategis perempuan dalam mengelola pangan berkorelasi erat dengan salah
satu indikator ketahanan atau ketangguhan dalam adaptasi perubahan iklim maupun
pengurangan risiko bencana. wilayah kepulauan kecil sebagai lokasi riset selain
untuk memotret peran strategis perempuan dalam mendorong peningkatan ketahanan
atau ketangguhan, juga menjadi bagian dari refleksi atas upaya pengurangan risiko bencana dan pembangunan yang sampai saat ini bias daratan. Kajian
ini mengambil kasus pulau Lipang yang merupakan representatif pulau-pulau kecil
di Indonesia.
Berdasarkan
permasalahan yang diuraikan di atas, penulis merasa penting untuk mengkaji
strategi penguatan perempuan sebagai kunci ketahanan pangan, khususnya di
Kepulauan kecil dengan judul “Peran Perempuan dalam Meningkatkan
Ketahanan melalui Ketahanan Pangan di Kepulauan Kecil”.
Penelitian difokuskan
di Kepulauan Lipang, sebuah kampung sekaligus pulau kecil di
Kecamatan Kendahe, Sangihe Sulawesi Utara. Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, dikenal sebagai kawasan
kepulauan, rawan bencana, perbatasan, terpencil, tertinggal dan miskin.
Tujuan
Penelitian
- Untuk menganalisis kondisi ketahanan pangan masyarakat di Kampung Lipang Kecamatan Kendahe Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara.
- Untuk mengidentifikasi bentuk peran strategis perempuan dalam meningktakan ketahanan untuk mengurangi risiko bencana di Kampung Lipang Kecamatan Kendahe Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara.
- Untuk menganalisis bagaimana peran strategis perempuan Lipang dapat ditingkatan untuk mengurangi risiko bencana yang dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Ruang
Lingkup
Penelitian ini
difokuskan pada pembahasan manajemen ketahanan pangan oleh masyarakat Kepulauan
Lipang guna mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan terhadap dampak
perubahan iklim. Yang dimaksud dengan pangan dalam penelitian ini adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air. Baik yang diolah, yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi penduduk Lipang[1].
Penelitian ini
difokusikan di Kampung Lipang di Kecamatan Kendahe Kepulauan Sangihe Provinsi
Sulawesi. Populasi penelitian ini adalah masyarakat di Kepulauan Sangihe.
Penelitian kemudian difokuskan pada masyarakat Kepulauan Lipang di Kecamatan
Kendahe. Sampel penelitian diputuskan berdasarkan purposive sampling. Yang
dimaksud dengan sampel pada penelitian ini adalah wakil-wakil masyarakat meliputi
Kepala Kampung, tokoh masyarakat seperti guru, bidan dan tokoh agama di kampong
Lipang.
Metode
Penelitian
Untuk mendapatkan
data yang dibutuhkan, peneliti terlibat langsung dalam pengambilan data primer
(Participant Observation) di lokasi penelitian melalui metode observasi,
diskusi, maupun wawancara dengan masyarakat dan pemerintah setempat.
Populasi penelitian
adalah masyarakat di Kepulauan Sangihe. Sebagai sampel adalah masyarakat
Kepulauan Lipang dengan tehnik purposive sampling. Yang dimaksud
dengan sampel pada penelitian ini adalah wakil-wakil masyarakat meliputi Kepala
Kampung, tokoh masyarakat seperti guru, bidan dan tokoh agama di kampong
Lipang.
Dalam analisisnya
peneliti menggunakan metode descriptive analysis. Data
primer dan sekunder; baik kualitatif maupun kuantitatif dideskripsikan secara
narrative untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Ketahanan
Pangan, Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana
Ketahanan pangan
mengacu pada kondisi di mana setiap orang memiliki kemampuan baik secara fisik
maupun ekonomi terhadap pemenuhan pangan yang cukup, aman dan bergizi, untuk
memenuhi kebutuhan gizi harian agar dapat hidup sehat [2]. Gangguan terhadap
ketahanan pangan di suatu negara dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi, gejolak
sosial dan politik. Meroketnya kenaikan harga pangan Indonesia saat krisis
ekonomi tahun 1997/1998 berkembang menjadi krisis multidimensi dan memicu
konflik sosial.
Menurunnya
produktivitas pertanian dan kebijakan yang tidak tepat adalah penyebabnya.
Selama kurun waktu 1997-2001, produktivitas padi menurun 0,38% per tahun.
Demikian juga beberapa komuditas pangan lain. Sementara pada periode yang sama
terjadi pertumbuhan permintaan pangan yang terus meningkat. Akibatnya,
kebutuhan pangan harus dipenuhi dari impor. Impor pangan akan sendiri
tidak strategis bagi kepentingan ketahanan pangan nasional.
Penurunan hasil
produksi pertanian tidak lepas dari pengaruh bencana dan dampak perubahan
iklim. Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan
menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang. Diperkirakan akibat pemanasan
global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50% biota
laut. Seperti di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, apabila suhu air laut
naik 1,50C setiap tahunnya sampai 2050 maka akan memusnahkan 98% terumbu karang
[3].
Dilihat dari
sisi penanggulangan bencana (PB), Adaptasi perubahan iklim merupakan
upaya mengurangi dampak ancaman bencana, baik preventif maupun mitigasi. Salah
satu contoh bentuk adaptasi dalam kontek PRB adalah; rekayasa cuaca yang pernah
dilakukan BNPB di jakarta, pembuatan tanggul pemecah ombak, banjir dll. Sedangkan dalam
kontek perubahan iklim, pengurangan risiko bencana atau disingkat PRB merupakan
strategi atau pendekatan dalam adaptasi. Maka, hubungan yang signifikan antara PRB dan
Perubahan Iklim bukan
lagi dua hal yang harus atau dapat dipisahkan.
Maknanya, sebagaimana
PRB, API adalah sebuah pendekatan dalam PB. Bagaimana upaya-upaya PB dalam
kontek PRB menjadi lebih berkelanjutan. Karena melihat ancaman bencana,
kerentanan dan kapasitas dengan ditambahi analisis proyeksi 30 - 100
tahun ke depan. Sehingga upaya PB, baik preventif, mitigasi maupun rehab-rekon
mempertimbangkan proyeksi akibat perubahan iklim.
Contoh kasus adalah;
Pengembangan pertanian sebagai bagian dari rehab – rekon disesuaikan dengan
analisis iklim. tidak hanya sekedar melihat penduduk sebelumnya budidaya
komoditas apa. Tapi bagaimana ke depan kondisi iklimnya, tanaman dan jenis apa
yang sesuai, ketersediaan air, hama yang cenderung meningkat dll. demikian juga
dengan infrastruktur yang dibangun disesuaikan dengan proyeksi perubahan yang
akan terjadi. Dalam kontek mitigasi atau preventif juga demikian. Jika sebuah
wilayah sudah tidak mungkin di tempati lagi untuk jangka panjang, kenapa harus
investasi besar-besaran? Pilihan relokasi menjadi alternatif. Atau tetap
tinggal dengan mengetahui proyeksi ancaman. Sehingga mata pencaharian, tata
ruang, bentuk bangunan harus disesuaikan untuk ke depan.
Ketahanan pangan
berperan penting dalam upaya adaptasi perubahan iklim dan penguranagn risiko
bencana. Kerentanan seseorang atau suatu komintas terhadap ancaman bencana
sangat dipengaruhi salah satunya oleh ketersediaan pangan. Tidak terpenuhinya
kebutuhan pangan sebelum, saat atau setelah bencana akan berpengaruh pada
tingkat risiko bencana yang ada. Risiko bencana akan meningkat atau muncul saat
kondisi pangan tidak terpenuhi. Ancaman bencana sendiri juga dapat mengancam
ketersediaan pangan.
Pada banyak kasus,
konflik sosial terpicu karena krisis pangan. Kerusuhan Mei 1998 salah satu
faktor, selain kondisi politik yang ada, juga masyarakat kesulitan memenuhi
kebutuhan pangan akibat harga yang naik berkali lipat. Sementara lapangan
pekerjaan atau pendapatan tetap atau bahkan hilang pekerjaan. Pada penanganan
bencana, aksi penjarahan atau membajak bantuan juga lebih karena desakan untuk
memenuhi kebutuhan akan pangan.
Kejadian bencana
gempa bumi dan tsunami Mentawai 2010 menjadi
spesifik untuk dicermati. Mentawai, sebagai bagian Kabupaten dari Provinsi
Sumatera Barat mengalami kendala cuaca saat tanggap darurat dilakukan. Prinsip
penanggulangan bencana yang cepat dan tepat, menjadi sulit dilakukan.
Distribusi logistik terganggu karena dukungan dari luar untuk melakukan
kerja-kerja pengananan tanggap darurat terkendala jarak dan cuaca. Sementara,
ketahanan atau ketangguhan untuk menghadapi krisis belum dilakukan dengan baik.
Baik memenuhi kebutuhan pangan, air bersih, pelayanan kesehatan maupun proses
evakuasinya.
Kondisi ini menjadi sangat krusial
untuk dicermati dan menjadi pertimbangan bagi Indonesia sebagai Negara
kepulauan. Mentawai hanyalah salah satu dari ribuan pulau Indonesia. Masih
terdapat banyak penduduk yang tinggal di pulau-pulau kecil dan memiliki
bahaya/ancaman beragam. Bencana yang terjadi seperti kasus Mentawai adalah
cerminan, bagaimana bencana geologis berpadu dengan cuaca buruk yang mempunyai
korelasi erat sebagai dampak dari perubahan iklim.
Sistem penanggulangan bencana
menjadi penting menyatu dengan kebijakan dan sistem pembangunan lain dalam
memperkuat resilensi warga Negara kepulauan. Dari mulai peningkatan kapasitas
SDM, pengelolaan tata ruang, pengelolaan SDA, membangun akses informasi,
pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur maupun kebijakan-kebijakan
yang menjamin penanggulangan bencana; sebelum, saat dan setelah terjadinya
bencana. Terjaminnya kebutuhan pangan komunitas kepulauan kecil akan
mempengaruhi tingkat kerentanannya tehadap ancaman.
Perempuan
dan Ketahanan Pangan
Perempuan dan laki-laki mempunyai
peran dan fungsi yang beragam dalam memastikan ketahanan pangan keluarga dan
komunitasnya. Di Negara berkembang khususnya, perempuan lebih berperan atau
bertanggung jawab dalam pengolahan pangan bagi keluarga. Artinya pilar
ketahanan pangan dalam keluarga bertumpu pada kemampuan seorang ibu untuk
mengatur kebutuhan dapur. Peran nyata tersebut menunjukkan pentingnya peran dan
kiprah perempuan dalam menjaga ketahanan pangan keluarga yang berimbas pada
ketahanan pangan nasional.
Perempuan, melalui pengetahuan dan
kemampuannya lebih mungkin dibandingkan pria untuk menggunakan sumber daya yang
tersedia dan meningkatkan kesejahteraan keluarga dari aspek gizi dan aspek kesehatan. Ini dibuktikan di berbagai daerah di banyak Negara.
Meskipun tuntutan perannya sebagai ibu rumah tangga perempuan di daerah
pedesaan berhasil meningkatkan diversifikasi sistem mata
pencaharian mereka. Upaya tersebut dilakukan melalui
peningkatan kapasitas produktif pertanian keluarga, pemanfaatan halaman rumah dan hewan
domestik. Ditambah lagi dengan berbagai
aktivitas lain dalam pengolahan dan pengawetan produk makanan serta mengumpulkan kayu
bakar dan air [4].
Peran perempuan dalam menjaga
ketahanan pangan keluargakan kemampuan untuk mengatur ekonomi keluarga, kreatifitas
dalam melakukan diversifikasi pangan dan kreatifitas untuk memanfaatkan
berbagai media untuk pengembangan pangan. Peran-peran nyata dari perempuan
dalam menopang ketahanan pangan keluarga menjadi konstribusi nyata untuk
membangun ketahanan pangan nasional.
Lipang,
Kampung Kecil di Tengah Samudra
Peta
Kabupaten Sangihe
(Dok.
Pemerintahan Kabupaten Sangihe 2009)
|
Pulau Lipang berada dalam lintasan pelayaran yang menghubungkan daratan pulau Sangihe dengan daratan Mindanao Philipina. Disamping sebagai daerah perbatasan, tiga karakteristik lain yang membedakan Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan Kab/Kota lain yaitu daerah Kepulauan, daerah perbatasan, dan daerah rawan bencana alam. Kabupaten Kepulauan Sangihe terdiri dari 105 pulau, sebanyak 26 pulau atau sekitar 24,76 % berpenduduk dan 79 pulau atau sekitar 75,24 % tidak berpenduduk.
Dari sisi geografis, Kampung Lipang Kampung Lipang memilki kondisi tanah yang bebatuan dan kering. Sehingga tidak banyak yang bisa diharapkan dari hasil perkebunan kecuali Kelapa dan beberapa jenis tanaman lainnya yang ditanam di antara celah bebatuan.
Iklim Lipang dipengaruhi oleh angin muson barat dan muson selatan. Menurut Schmidt dan Ferguson ini adalah adalah Type iklim A (iklim basah). Pada saat muson barat dan musin selatan angin bertiup sangat kencang. Kondisi tersebut bisa berlangung cukup lama. Menurut keterangan warga, kejadian ekstrim bisa berlangsung cukup lama; berhari-hari, berminggu-minggu bahkan pernah berlangsung selama 8 bulan[2].
Kondisi perairan laut
Lipang hampir sepanjang tahun bergelombang besar disertai arus deras dan angin
bertiup kencang. Untuk kebutuhan air bersih, warga Kampung Lipang hanya
mengandalkan air hujan yang ditampung dalam Penampungan Air Hujan (PAH) dan
sumur dangkal disebut kola susu. Penamaan kolam susu tidak merujuk pada kondisi
air yang sering berwarna kecoklatan, tapi juga menggambarkan istimewanya kolam
tersebut bagi warga. Menurut warga, kolam susu sudah aja sejak tahun 1980an dan
menajdi sumber air bersih untuk mencuci dan mandi.
Kolam susu, penampung air hujan masyarakat Lipang |
Sementara danau Mala,
sebuah danau yang dijadikan sebagai tempat beternak ikan secara komunal,
menjadi alternatif sumber air tawar saat tertentu. Meski secara perlahan
mulai bercampur dengan air laut seiring semakin tingginya air pasang
memasuki danau.
Secara administratif
Kampung Lipang terbagi menjadi tiga Lindongan atau dusun, yaitu Lendongan I, II
dan III. Dengan jumlah penduduk 95 KK atau 339 jiwa. Terdiri dari 162
perempuan serta 177 laki-laki. Dengan tingkat pendidikan rata-rata adalah lulusan
sekolah menengah; 43 orang dengan tingkat pendidikan pra sekolah, 37 orang
tingkat SD, 153 orang lulusan SMP, 6 orang lulusan SLTA, dan hanya 1 orang
lulusan Diploma 3. Dari sisi agama, mayoritas penduduk Lipang beragama Islam.
Dari 95 KK, hanya sekitar 28 KK yang beragama Kristen Protestan[3].
Dari sisi ekonomi,
sebagian besar penduduk Lipang bermata pencaharian sebagai nelayan; 80 orang
bekerja sebagai nelayan, 11 petani, 4 pedagang dan 1 PNS. Sumber pendapatan
utama penduduk Lipang adalah dari hasil laut dan alternatifnya di kebun. Hasil
tangkapan laut selain dikonsumsi sehari-hari juga dijual untuk menghasilkan
uang cash untuk membeli kebutuhan lain. Hasil tangkapan
nelayan Lipang biasa dijual ke Tahuna, Ibukota Kabupaten, atau ke Mindanao.
Penghasilan rata-rata nelayan adalah Rp. 20.000/hari.
Penghasilan
masyarakat Lipang sangat tergantung pada kondisi cuaca. Mendapatkan hasil
tangkapan maupun hasil perkebunan yang baik serta menjualnya ke luar pulau
ditentukan oleh kondisi perairan dan iklim. Bagi sebagian kecil warga,
pendapatan tambahan diperoleh dari penyewaan alat keruk kelapa dnegan mesin
genset. Rata-rata saat musim panen kelapa penduduk bisa mendapatkan 25 ribu
rupiah/per hari.
Kondisi kehidupan
masyarakat Lipang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur yang
sangat terbatas di Kampung Lipang masih sangat terbatas. Gambaran lokasi
infrastruktur tersebut tergambarkan dalam dokumentasi Pemerintahan Kampung
Lipang berikut ini;
Sketsa Kampung Lipang (Dokumentasi Pemerintahan Kmapung Lipang) |
Tingginya tingkat
ancaman bencana, seperti terjangan angin barat dan abrasi mengancam keberadaan
infrastruktur fisik di Lipang. Untuk itu, demi menghidari dampak terjangan bahe
dan abrasi, secara tradisional, bangunan rumah penduduk di dekat pantai dirancang
khusus dengan letak pintu menghadap ke barat dan memperkuat bagian bangunan di
sisi barat. Rancang bangunan ini jelas terlihat beda dengan rumah di perbukitan
yang tergolong aman.
Lipang,
Ancaman Bencana dan Dampak Perubahan Iklim
Jika merujuk pada
hasil pemetaan BNPB, peta indeks wilayah rawan bencana, menunjukkan bahwa
sebagian besar wilayah Sulawesi Utara berwarna merah. Artinya memiliki tingkat
ancaman tinggi terhadap berbagai jenis bahaya.
Peta Indeks Bencana Su |
Bahaya atau ancaman bencana, sangat
terkait dengan perubahan iklim. Dari berbagai temuan dan dokumentasi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan ancaman dari tahun ke tahun,
khususnya bahaya hidrometeorologis. Ancaman bencana biologis dan geologis juga
semakin meningkat atau berisiko dengan adanya pengaruh perubahan iklim.
Sebagai pulau kecil
yang terpisah dari daratan utama, iklim memberikan pengaruh determinan kepada
penduduk yang mayoritas bermata pencaharian dan bergantung pada luar
pulau. Persoalan yang dihadapi oleh penduduk Lipang terkait bahaya
hidrometereologi meskipun bukan sesuatu yang baru, namun kian hari kejadiannya
semakin ekstrim. Beberapa jenis ancaman yang berhasil diidentifikasi adalah
ancaman gelombang pasang, abrasi, angin badai, wabah dan kekeringan [4].
Lipang
merupakan wilayah pertemuan arus antara Samudera Pasifik dan Laut Sulawesi.
Pada kawasan laut ‘bawone” yang terletak diperlintasan sekaligus batas kelola
laut antara Lipang dan Sangir Besar (Kendahe) merupakan daerah pertemuan arus
Samudera Pasifik dan Laut Sulawesi, dengan kekuatan ombak yang sulit
diprediksi.
Transpotasi
terbatas dan mahal adalah masalah yang umum dihadapi warga yang tinggal di
kepulauan kecil. Akses merupakan persoalan utama bagi masyarakat Lipang untuk
mencapai wilayah luar pulau. Jarak Lipang ke daratan Sangir mencapai 12 mil laut
dan 142 mil laut menuju Ibukota Provinsi Sulawesi Utara, Manado.
Untuk melindungi
daratan, penduduk Lipang menanami pantai sebelah barat dengan puluhan pohon
ketapang sejak tahun 1990-an, meskipun kemudian semuanya tergerus ombak dan
tinggal menyisakan satu batang pohon. Upaya mitigasi selanjutnya silakukan
dengan pembuatan talud (Wave breaker). Namun talud tersebut pun hanya
bertehana rata-rata 2 tahun dan kembali ditegus ombak. Sjak tahun 2010, talud
beton baru di sepanjang pantang dibangun sebagai penahan ombak guna melindungi
pemukiman dan perahu pambut dari terjangan ombak.
Ketahanan
Pangan Masyarakat Lipang
Masyarakat Lipang
menempatkan laut sebagai sumber utama kehidupan. Sementara daratan kecil yang
mereka tinggali adalah alternative kedua yang bersifat sementara. Hal ini
berkiatan erat dengan sejarah perpindahan leluhur mereka ke Lipang. Sejak lama
penduduk Lipang telah membangun sistem nilai tertentu sebagai wujud penyesuaian
(coying mechanism) mereka terhadap kehidupan yang bergantung kepada laut.
Sejarah
keberadaan masyarakat Lipang sendiri berawal dari bencana erupsi Gunung Awu
tahun 1711. Saat itu letusan yang diikuti oleh medalulung (tsunami/ombak besar) menghancurkan
ibukota Kerajaan Kendahe di Makiwulaeng. Sebagian penduduk kerajaan yang
selamat, terutama yang tinggal di bagian timur Sangir Besar pergi untuk
mengungsi ke Lipang. Melihat perairan di dekat Lipang ternyata kaya oleh
berbagai jenis ikan, mereka memutuskan untuk tinggal di sana sampai. Sejak
itulah Lipang menjadi pulau berpenghuni, tidak hanya tempat persinggahan
nelayan[5].
Masyarakat Lipang,
sebagaimana masyarakat Sangihe umumnya mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Tempo dulu yang dinamakan nasi atau makanan pokok masyarakat
Sangir bisa berasal dari sagu dan umbi-umbian. Sekarang yang disebut nasi
adalah makanan pokok dari beras atau tanaman padi. Menurut penuturan warga,
zaman dulu beras sulit didapatkan sehingga kakek-nenek dan ibu-bapak mereka
hanya makan nasi 1 kali dalam 2 atau 3 hari, atau 1-2 kali saja dalam seminggu.
Sisanya mereka mengkonsumsi olahan sagu, singkong, ketela atau talas. Menurut
Nanung, Sejarah kehadiran beras di Kepulauan Sangihe secara keseluruhan dimulai
sekitar tahun 1970-an [5]. Pelan tapi pasti kehadiran beras telah menggeser
keberadaan hutan sagu dan berbagai umbi sebagai sumber makanan utama selain
ikan. Hal itu secara efektif terus berlangsung hingga akhir Orde Baru. Program
beras miskin atau raskin yang mulai berlaku antara tahun 1996/1997, meskinpun
di satu sisi dinilai cukup membantu warga, namun di sisi lain menciptkan
ketergantungan tinggi pada satu jenis makanan pokok, beras.
Beras di Lipang saat ini didatangkan
dari dua tempat; Sangir Besar dan General Santos, Mindanao. Di seluruh
Kepulauan Sangihe, padi hanya ditanam di bagian selatan pulau dengan luasan
sangat sedikit. Selain karena kondisi wilayah pulau Lipang yang dinilai tidak
cocok untuk bertanam padi, juga karena dianggap kurang menguntungkan dari sisi
ekonomi, dibandingkan cengkeh atau pala.
Selain membeli, beras diperoleh
warga dari Pemerintah daerah melalui program Raskin atau beras miskin. Setiap 2
bulan masyarakat mendapatkan jatah beras 15 kg per kepala keluarga (KK) dengan
membayar 28.000 rupiah. Program raskin telah dimulai sejak tahun 1996/1997.
Jika merujuk pada
konsumsi beras rata-rata orang Indoensia, 0,54 kg perhari, maka 15 kg beras
raskin bisa bertahan 27 hari dengan sisa 0, 42 kg atau 28 hari dengan
kekeurangan 0,12 kg. Artinya masyarakat Lipang tidak bisa mengandalkan
pemenuhan kebutuhhan pangan diri dan keluarganya dari beras tersebut.
Masyarakat memenuhi kebutuhan beras dengan membeli di luar pualu dari hasil
tangkapan yang mereka jual ke daratan Sangir, atau Mindanao. Rata-rata setiap
keluarga membutuhkan tambahan beras 2 karung beras (30 kg) setiap bulan
dengan harga 135.000 rupiah/karung.
Kesenjangan kemudian terjadi saat
warga yang berpenghasilan lebih rendah tidak mampu mememnuhi kebutuhan beras
untuk dikonsumsi setiap hari dengan warga yang berpenghasilan lebih tinggi.
Sebagian besar, 85% penduduk Lipang mensiasati kekurangan tersebut dengan
mengkonsumsi talas, umbi-umbian dan sagu. Sementara 15% lainnya, yang
berpenghasilan lebih tinggi cenderung mengkonsumsi alternative pangan selain
beras sebagai kudapan (cemilan), tidak sebagai pengganti beras[6].
Untuk
itu, masyarakat
Lipang dan Sangir umumnya secara terbatas juga menanam umbi-umbian dan tanaman
lain. Jenis umbi-umbian dikenal penduduk Lipang adalah ima kalu (ketela),
ima (singkong) dank ore (talas) sebagai salah satu sumber pangan. Saat musim bahe (angin
barat) atau kondisi ekstrim lainnya umbi-umbian menjadi alternatif makanan
pokok. Umbi-umbian ditanam di daerah tebing dengan memanfaatkan media tanah
yang diletakkan di celah bebatuan.
Sementara Kore atau talas (colocasia giganteum) banyak ditanam oleh
masyarakat Lipang di sekitar rumah. Pangan lain yang menjadi alternatif makanan
pokok masyarakat Lipang adalah sagu. Dalam kondisi krisis, kelapa juga dijadikan
alternatif makanan oleh masyarakat Lipang. Dalam pengalaman dilanda bahe selama
2 bulan, Ibu Ahmad, salah satu perempuan Lipang, mengaku terpaksa makan kelapa
yang diolah dengan rebus/ dikukus atau dibuat caramel.
Berbeda dengan kelapa, ubi dan talas
ditanam hanya untuk dikonsumsi sehari-hari. Tidak untuk dijula ke luar
pulau. Untuk sagu sendiri, masyarakat Lipang saat ini sudah jarang
meproduksi sagu sendiri, melainkan membelinya dari daratan Sangir -
Tahuna dengan harga 50.000 rupiah untuk 1 (satu) pack ukuran 30 cm
diameter sekitar 15 cm. Atau 75.000 – 80.000 untuk ukuran lebih besar.
Ketersediaan pangan
juga mencakup kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan; baik bersumber dari
produksi domestik, impor dari wilayah
luar pulau dan cadangan pangan di dalam pulau. Sementara kenyataannya di pulau
Lipang hanya terdapat 3 kios kecil sederhana yang pemasokannya juga ditentukan
oleh kondisi. Tidak ada kapal perintis yang datang dan memasok kebutuhan pangan
warga, baik dalam kondisi aman maupun krisis. Artinya, dari sisi ketersedian;
kestabilan dan kesinambungan pangan dapat disimpulkan bahwa ketersediaan pangan
di Pulau Lipang masih jauh dari harapan.
Terkait food
access (akses pangan); Dari sisi ekonomi, pendapatan rata-rata penduduk adalah
20.000/hari atau 140.000 per minggu sebagai hasil penjualan tangkapan dan
ditambah penghasilan penjualan Kopra 2.000.000/3 bulan, atau sekitar 666.500
rupiah/minggu. Maka penghasilan per minggu rata-rata masyarakat Lipang adalah sekitar
800.000 rupiah.
Pambut (Pump boat)alat transportasi warga Lipang |
Sementara jika mengacu pada
jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan. Ukuran
kualitas pangan seperti ini melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan
kandungan gizi yang berbeda-beda.
Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.7 tahun 2008 tentang tata cara
pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar menyebutkan bahwa standar
minimum kebutuhan dasar pangan adalah 2.100 kilo kalori [6]. Jika ditelaah sumber
kalori masyarakat Indonesia hampir 80 % berasal dari golongan karbohidrat
seperti beras, jagung, ubi-ubian, dan lain-lain. Karbohidrat adalah golongan
pangan yang nilai gizinya untuk sebagian besar terdiri dari kalori.
Sisanya berasal dari kacang kacangan, daging, telor, susu, buah-buahan,
dan sayur-mayur.
Nilai gizi pola konsumsi pangan
seperti tersebut di atas adalah rendah karena ketidaksempurnaan
protein yang berasal dari karbohidrat untuk keperluan penyusunan protein
tubuh. Berdasarkan perkiraan dapat diduga bahwa gejala kekurangan gizi
tertentu (malnutrition) seperti vitamin masih banyak terdapat di Indonesia.
Demikian juga gejala kekurangan kalori (undernutrition) dapat
diperkirakan masih ada karena angka 2.100 kalori per hari adalah
angka rata-rata. Dengan demikian ada yang lebih rendah dari angka tersebut, ada
yang lebih tinggi.
Dalam konteks kepualaun Lipang, dilihat dari variasi makanan yang dikonsumsi dalam kondisi normal atau krisis. pada jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat lipang secara umum dapat dikatakan cukup bervariasi untuk jenis makanan pokok. Yaitu berasal dari golongan karbohidrat seperti beras dan umbi-umbian berupa talas, singkong dan ketela dengan ikan sebagai lauk.
Warga Lipang sangat jarang bisa mengkonsumsi sayur-sayuran,
buah-buahan, daging, dan sumber kalori lainnya karena jenis makanan tersebut
hanya tersedia di luar pulau dengan harga sangat mahal. Kondisi tanah yang
kering dan bebatuan; membuat warga kesulitan untuk menanam sayur-sayuran atau
rempah-rempah. Hanya beberapa jenis sayuran saja seperti papaya, gedi, rebung
bambu dan luhu serta daung singkong yang tumbuh dengan jumlah terbatas.
Demikian juga untuk kebutuhan bumbu dapur dan sayuran lainnya; masyarakat harus
membelinya di luar Pulau Lipang; di daratan Sangir.
Perempuan, Kunci
Keselamatan Keluarga
Menurut sejarah,
tidak ada pembagian kerja secara seksual dalam pengerahan tenaga. Pada abad
ke-16 dan 17 pekerjaan kaum lelaki hanyalah berperang, menangkap ikan, menebang
pohon, mendirikan pondok/rumah, berlayar dan berdagang. Sementara menanam,
menyiangi tanaman, menjaganya dari serangan hama dan memanen umumnya dikerjakan
oleh perempuan. Demikian juga dengan menenun kain kofo, menganyam tikar pandan,
membuat tikar rotan dan keranjang, dikerjakan oleh perempuan [7].
Pola
pembagian peran serupa masih berlangsung hingga saat ini. Bagi penduduk masyarakat
Lipang, beban aktivitas harian antara laki-laki dan perempuan hampir sama walau
dengan risiko berbeda; di mana laki-laki lebih fokus pada melaut dengan risiko
gelombang tinggi dan angin badai. Sementara perempuan berladang, sebagain
aktivitas bercocok tanam dilakukan di daerah tebing.
Tanam Ubi di Tebing |
Lak-laki,
umumnya berangkat melaut pukul 03.00 dan kembali antara pukul 13.00-14.00.
Sepulang melaut, laki-laki biasanya akan memeriksa jaring, memperbaiki jaring
(merajut), memeriksa mesin, persiapan bahan bakar, membersihkan perahu, sampai
dengan pukul 16.00 wita. Sedangkan perempuan memulai hari dengan menyiapkan
sarapan, merapikan rumah dan mencuci. Dilanjutkan dengan berladang dan
istirahat.
Ibu,
memegang peranan besar dalam memenuhi setiap kebutuhan keluarga melalui
pengelolaan kebutuhan rumah tangga. Baik pengelolaan keuangan, kebutuhan
pangan, air bersih dan energi.
Untuk keamanan ekonomi, setiap nelayan
memilah antara hasil tangkapan yang akan dijual atau dikonsumsi keluarga. Jenis
ikan yang dijual biasanya adalah tatahi (hiu ekor
panjang/nurse shark), kakanda (hiu kepala
martil) untuk diambil siripnya, tuna sirip kuning, tuna sirip biru dan ikan
merah. Harga jual sirip hiu ukuran 40-50 cm kering adalah antara 900.000-1,2
juta/kg kering.
Harga penjualan ikan
tuna bisa mencapai 30.000/kg di Tahuna, atau 67 peso (80.000 rupiah)/kg bila
dijual ke General Santos, Mindanao. Sedangkan ikan merah (sahamia) biasa
dijual 30.000 rupiah/kg di Tahuna, atau 80 peso di Mindanao. Dorongan untuk
menjual ke negara tetangga karena harga barang seperti beras jauh lebih
murah. Selain untuk dijual ke luar Lipang, nelayan juga menangkap beberapa
jenis ikan yang dikonsumsi sendiri atau dijual ke tetangga seperti cakalang,
deho, tenggiri, ikan terbang, ikan layar, cumi atau gurita.
Selain hasil laut,
berladang menjadi alternative lain saat musim barat (Oktober-Desember), angin
utara (Januari-Februari) atau angin selatan (Juli-Agustus/September) yang
bertiup kencang (cuaca buruk). Jenis tanaman andalan masyarakat Lipang terbatas
pada Kelapa yang hasilnya berupa kopra dijual ke luar pulau. Selain kelapa,
jenis tanaman sayur-sayuran ditanami warga di antara celah bebatuan di bawah
pohon kelapan. Hanya talas, umbi-umbian dan pisang yang tersedia dan dapat
ditanam di tanah milik warga yang semakin terbatas. Baik karena abrasi, maupun
penggunaan untuk pemukiman. Sementara pulau Lipang hanya berukuran 3x3 meter
persegi. Hasil penjualan ikan maupun kopra biasanya didistribusikan untuk
membeli beras, alat melaut (kail,umpan, tali pancing), mencat perahu,
memperbaiki perahu atau rumah serta cadangan pembelian bahan bakar.
Sebagian
penduduk mengamankan uang mereka dengan menabung di bank yang terdapat di
Tahuna, khususnya bila jumlahnya besar, (lebih dari 3 juta rupiah). Namun pola
tersebut hanya berlaku bagi sebagian kecil penduduk Lipang, yang bermodal alat
tangkap besar. Sementara sebagai besar penduduk Lipang hanya mengandalkan
perahu mesin 13 PK dengan jarak tempuhnya terbatas.
Akses bank yang jauh,
membuat setiap keluaraga harus mampu mengelola keuangan lewat simpanan
pribadi. Pengelolaan keuangan sendiri biasanya dipegang oleh perempuan,
sementara laki-laki hanya mengambil porsi untuk bahan bakar, rokok serta
sebagian untuk keperluan lain. Terkait pangan, warga Lipang mengembangkan pola
pengamanan kebutuhan dasar baik secara komunal atau berbasis keluarga.
Hasil tangkapan laut Secara komunal, proses ini dimulai dengan
membangun sistem nilai tertentu baik yang berupa mitos, legenda, ritual atau
aktifitas bersama yang memiliki tujuan tertentu dan diyakini sebagai kebenaran
dan dijadikan sebagai pandauan untuk menjalani kehidupan sehari-hari (Daeng,
2001). Pengamanan daya dukung ekologis kawasan laut Lipang dikemas dalam bentuk
beberapa aturan tradisional yang melarang berbagai bentuk perusakan karang,
penggunaan jaring/pukat, penebangan pohon dipantai, perburuan merpati laut (punting).
Mekanisme komunal
lain yang dibangun adalah kebiasaan tidur dipantai untuk saling membantu menurunkan
atau mengangkat perahu yang akan melaut atau mendarat. Hal ini terus menjaga
ikatan sosial antar masyarakat serta mendukung setiap nelayan untuk terbantu
saat hendak melaut mencari ikan. Kegiatan tidur di laut dilakukan oleh
laki-laki maupun perempuan.
Mekanisme menjaga
keamanan pangan juga dibangun disetiap keluarga. Setiap keluarga besar,
meskipun anak-nya sudah memiliki keluarga sendiri biasanya masih mengelola
perahu dan mengolah kebun secara bersama untuk hasil dibagi bersama. Setiap
keluarga memanfaatkan kebun untuk ditanami berbagai tanaman sebagai cadangan
pangan mengantisipasi situasi angin barat dan tidak bisa melaut seperti;
umbi-umbian, pisang dan talas. Kegiatan bercocok tanam di tebing dikenal oleh
orang darat (sebutan untuk orang Sangir Besar) sebagai “orang Lipang menanam
ubi dibatu” dimulai, setiap keluarga mencari tebing batu yang masih kosong,
mengisi celahnya dengan tanah dan dimusim hujan menanami dengan ubi kayu.
Jenis menanam seperti
dilakukan di tebing yang menghadap ke laut lepas. Pekerjaan menanam di tebing
ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan masing-masing keluarga.
Penggunaan bahan
pangan secara berurutan mulai kondisi normal sampai darurat adalah dengan
konsumsi beras/sagu denganlauk ikan, ubi kayu (imakalu) dengan lauk ikan, ubi
rambat (ima) atau kore (talas) dengan lauk ikan dan direbus dengan kelapa dan
terakhir bila semua sudah habis adalah memasak buah kelapa.
Kuncinya adalah pada
pola pembagian kerja baik di darat maupun di laut pada setiap keluarga dan bisa
berbeda-beda. Sebagaimanan ditampilkan pada table berikut [8];
No
|
Pola Pembagian Kerja Keluarga
|
1
|
Laki-laki,
ibu dan anak ikut melaut dan berkebun
|
2
|
Laki-Laki
dan anak laki-laki di laut dan kebun, ibu (dan anak perempuan) di kebun
|
3
|
Laki-laki
di laut, istri dan anak di kebun
|
4
|
Laki-laki
dan anak laki-laki di laut dan kebun, istri di rumah
|
Pola pembagian
pekerjaan ini dijalani setiap keluarga. Aktivitas Ibu atau anak perempuan dalam
mendukung kecukupan ekonomi keluarga ini memberikan makna tersendiri bagi
setiap keluarga. Kondisi perairan Lipang yang tidak menentu, menempatkan sumber
mata pencaharian atau penghidupan lain sebagai prioritas, yang umumnya
dijalankan oleh perempuan.
Untuk
perkebunan misalnya, merupakan alternative bagi laki-laki atau perempuan
nelayan saat musim barat (Oktober-Desember), angin utara (Januari-Februari)
atau angin selatan (Juli-Agustus/September) yang bertiup kencang dan membuat
nelayan tidak melaut. Namun, tugas memlihara kebun akan lebih menjadi tugas
perempuan saat laki-laki melaut.
Demikian
pula dengan pemanfaatan air bersih. Perempuan yang lebih banyak menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga mempuanyai control lebih besar dalam memastikan
ketersediaan air bersih. Tinggal dipulau yang hanya mengandalkan air hujan
mendorong penduduk Lipang mengembangkan manajemen pengelolaan air bersih secara
bertingkat.
Bak penampung air hujan adalah milik keluarga, hanya anggota keluarga yang boleh untuk menggunakannya. Bak penampung air hujan biasa digunakan untuk seluruh keluarga besar, sedangkan kolam tanah untuk mencuci dan mandi biasanya dapat digunakan secara komunal, oleh beberapa tetangga terdekat yang tidak memiliki kolam penampung. Sedangkan keberadaan air di kolam tanah yang bila 2 minggu tidak hujan akan habis, dua sumur payau di pantai atau air payau danau Malaadalah milik komunal.
Bak penampung air hujan adalah milik keluarga, hanya anggota keluarga yang boleh untuk menggunakannya. Bak penampung air hujan biasa digunakan untuk seluruh keluarga besar, sedangkan kolam tanah untuk mencuci dan mandi biasanya dapat digunakan secara komunal, oleh beberapa tetangga terdekat yang tidak memiliki kolam penampung. Sedangkan keberadaan air di kolam tanah yang bila 2 minggu tidak hujan akan habis, dua sumur payau di pantai atau air payau danau Malaadalah milik komunal.
Bila hujan mulai
jarang turun, otomatis penggunaan air minum akan mulai diirit, sedangkan bila
air kolam tanah sudah habis maka akan menggunakan sumur payai di dekat dermaga
dengan pengaturan setiap keluarga hanya dua galon ukuran 20 liter, setiap hari.
Bila air sumur payau atau danau sudah habis, langkah terakhir adalah
mencuci dan mandi di pantai dengan memanfaatkan air laut. Hal ini pernah
terjadi tahun 2001, saat terjadi kekeringan panjang, hampir satu tahun tidak
turun hujan. Untuk kebutuhan air minum, bila bak penampung habis jalan
satu-satunya adalah mengambil air tawar dengan galon ke Kendahe atau Talawid di
Sangir Besar.
Strategi
komunal juga berlaku dalam penyediaan air bersih. Bagi warga yang tidak
memiliki perahu mesin, biasanya akan menumpang perahu milik nelayan lain.
Sebagai alternative solusi kelangkaan bahan bakar, warga akan membeli “bensin
merah” di Mindanao atnelayan Mindanao yang kebetulan dating dengan harga rupiah
sekitar 13.000.
Alternatif terakhir
sebagai cadangan yang diterapkan pada kondisi krisis, atau bagi warga yang
tidak mampu membeli air bersih ke daratan sangir adalah dengan mengkonsumsi air
kelapa. Memastikan ketersediaan air bersih bagi setiap anggota keluarga menjadi
beban tersendiri bagi perempuan.
Untuk kebutuhan
energi, perempuan Lipang cenderung mengandalkan bahan bakar kayu untuk
kebutuhan memasak. Bahan bakar minyak memang menjadi isu dan persoalan serius
bagi kalangan nelayan. Karena penting bagi penduduk Lipang seiring dengan
pergantian dari perahu layar/penggayung dan beralih ke perahu bermesin sejak
1985-an selalu terkait dengan bahan bakar untuk melaut atau transportasi serta
serta listrik untuk berbagai keperluan di darat.
Pembagian peran yang
terjadi dalam rumah tangga di wilayah Lipang merupakan modal masyarakat untuk
bertahan. Terutama pada kondisi kritis; angin barat atau bahe melanda,
menyebabkan nelayan tidka bias melaut atau akses ke luar pulau. Pada waktu
tertentu, kondisi tersebut bias berlangsung berbulan-bulan, dan penduduk Lipang
hanya bias mengandalkan tabungan dan sumber pangan local yang ada untuk
bertahan hidup.
Perempuan yang
mengatur urutan penggunaan bahan pangan baik dalam kondisi normal sampai
darurat adalah beras/sagu dengan lauk ikan, ubi kayu (imakalu) dengan lauk
ikan, ubi rambat (ima) atau kore (talas) dengan lauk ikan dan direbus dengan
kelapa dan terakhir bila semua sudah habis adalah memasak buah kelapa[7]. Strategi ini tidak lain adalah menyiasati
pemanfaatan sumber pangan alternative selain beras.
Kajian ini menemukan adanya
keterbatasan perempuan dan penduduk Lipang pada umunya terkait strategi
pengolahan dan peningkatan produksi pangan local. Akses pengetahuan yang minim
menempatkan perempuan Lipang pada posisi survival, dari pada mengembangkan pola
adaptasi jangka panjang. Tekhnik pengolahan pangan yang beragam ditemukan di
tempat lain seperti pengasapan atau pengawetan ikan sebagai sumber dominan
tidak ditemukan di sini. Warga juga cenderung bertahan dengan pola perkebunan yang
ada, dari pada mengenangkan pola perkebunan alternative sesuai kondisi wilayah
Kepulauan Lipang.
Persoalan akses adalah kendala
terbesar warga Lipang. Khususnya bagi perempuan, tidak memiliki kesempatan
lebih banyak dari pada laki-laki untuk keluar pulau karena profesi mereka yang
cenderung lebih banyak menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Keterbatasan akses
wilayah ini sekaligus mempengaruhi akses informasi. Selain itu, tidak banyak
sumber informasi lain yang bias diandalkan warga, seperti keterbatasan daya
beli televisi dan radio.
Selain itu, persoalan pendidikan
menjadi dinamika tersendiri. Setelah lulus SD dan SMP di Lipang, murid dan
orang tua menghadapi tantangan besar untuk melanjutkan ke luar pulau.
Melanjutkan pendidikan, berarti menuntut akses luar pulau. Sama halnya
dengan akses saranan dan pra saranan kesehatan. Warga hanya bias mengandalkan
tenaga Bidan medis satu-satunya di pulau. Jika ingin memperoleh perawatan
lebih, berarti harus menyeberang laut menuju Kendahe atau Tahuna.
Dengan pendapatan sebagai nelayan
dan hasil kebun kelapa yang tidak luas, mengirim sekolah ke Pulau Lain, termasuk
membiayai hidup anak kost cukup berat bagi sebagian besar warga Lipang.
Akhirnya, yang terpenting adalah tetap memiliki pengetahuan sebagai orang
pulau, melaut dan berkebun sehingga bisa bertahan.
Memperkuat peran dan fungsi
perempuan atas pengelolaan pangan adalah kunci mencapai ketahanan pangan. Pengetahuan
dan pengalamannya yang unik harus diperkuat untuk mendukung upaya adaptasi
perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.
Kesimpulan
· Mengacu pada tiga
indikator kunci ketahanan pangan; food availibility (ketersediaan
pangan), food access (akses pangan) dan food
utilization (penyerapan pangan), dapat disimpulkan bahwa tingkat
ketahanan pangan masyarakat Lipang tergolong rendah;
1) food
availibility (ketersediaan
pangan); Ketersediaan pangan yang tidak stabil dan berkelanjutan yang
dipengaruhi oleh akses dan rantai distribusi yang panjang. Semua kebutuhan
masyarakat Lipang dipenuhi dari pasar di daratan Sangir, yang juga bergantung
pada distribusi dari Kota Manado melalui transportasi laut. Sementara di
daratan Lipang, kondisi
tanah yang kering dan bebatuan, membuat warga kesulitan untuk menanam
sayur-sayuran atau rempah-rempah. Hanya beberapa jenis tanaman dapat ditanami
warga sebagai alternatif.
2) food access (akses pangan); Dari sisi ekonomi, pendapatan rata-rata penduduk adalah
20.000/hari atau 600.000 rupiah/bulan. Sementara kebutuhan rata-rata per bulan 1.340.000
rupiah. Tidak seimbang dengan harga makanan dan kebutuhan lain di wilayah
pulau. Dari sisi wilayah, butuh waktu 2 jam perjalanan laut dengan
perahu kecil, melewati ombak setinggi 3-5 meter dan membutuhkan 6 liter bensin
Sementara harga per liter bahan bakar mencapai 4.500 rupiah di SPBU atau
7.000 rupiah per botol di kedai atau kios.
3) food utilization (penyerapan
pangan); Kualitas gizi sangat ditentukan keragaman jenis pangan dan pengolahan
. Dilihat dari variasi makanan yang
dikonsumsi dalam kondisi normal atau krisis. Masyarakat Lipang mengkonsumsi
makanan pokok yang cukup bervariasi. Yaitu berasal dari golongan karbohidrat
seperti beras dan umbi-umbian berupa talas, singkong dan ketela dengan ikan sebagai
lauk. Namun, sangat terbatas dalam konsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, daging,
dan sumber kalori lainnya karena jenis makanan tersebut hanya tersedia di luar
pulau dengan harga mahal.
- Dalam konteks manajemen bencana dapat disimpulkan bahwa warga kepulauan Lipang memiliki tingkat survival tinggi bertahan dalam kondisi krisis, khususnya dalam mengelola kebutuhan pangan. Strategi adaptasi lokal dilakukan melalui pengamanan kebutuhan dasar pangan baik secara komunal atau berbasis keluarga. Sumber pangan penduduk berasal dari hasil laut dan daratan. Baik dikeloa secara individual maupun komunal. Mekanisme menjaga keamanan pangan dibangun disetiap keluarga melalui pembagian peran laki-laki dan perempuan.
- Perempuan, terbukti memainkan peran kunci ketahanan penduduk Lipang, terutama melalui kemampuannya mengelola ekonomi dan sumber pangan. Pengelolaan dan pengolahan pangan diterapkan berdasarkan pengetahuan dan kebiasaan lokal. Pembagian peran yang terjadi dalam rumah tangga di wilayah Lipang menunjukkan perempuan sebagai kunci ketahanan di tengah ancaman bencana yang meningkat setiap waktu.
- Kajian ini menemukan adanya keterbatasan perempuan dan penduduk Lipang pada umunya terkait strategi pengolahan dan peningkatan produksi pangan lokal. Hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan akses informasi warga pulau. Warga Lipang cenderung bertahan dengan pola pengelolahan pangan dan pengelolaan perkebunan yang ada, tanpa paham dan mampu mengembangkan pola alternatif sesuai kondisi wilayah Kepulauan Lipang.
Rekomendasi;
Kajian ini
merekomendasikan;
- Penguatan ketahanan pangan; Meliputi pada 3 indikator kunci; food availibility (ketersediaan pangan), food access (akses pangan) dan food utilization (penyerapan pangan). Peningkatan ketersediaan pangan lokal dapat dilakukan dengan pengembangan teknik pertanian alternative; misalnya hidroponik, pemanfaatan tanah dari luar pulau untuk memperluas lahan pertanian, menggunakan media polybags dll. Keberadaan lahan yang hanya berukuran 3x3 meter persegi akan semakin terbatas untuk pembangunan pemukiman.
- Penguatan kapasitas perempuan; Meningkatkan pemahaman, pengetahuan, keterampilan dan akses informasi perempuan dalam pengelolaan SDA, khususnya pengelolaan pangan, dapat menempatkan posisi pengelolaan tidak sebatas “survival”. Sehingga dibutuhkan media dan strategi yang mampu mendorong peran perempuan di Lipang untuk memperkuat kemampuan dan perannya sebagai leader transformasi sosial dalam memperkuat ketahanan/ketangguhan komunitas menghadapi ancaman bencana maupun dampak perubahan iklim.
- Penguatan upaya API dan PRB; Sejauh ini, upaya penanggulangan bencana yang dilakukan masih bias daratan. Demikian juga respon terhadap perubahan iklim, sebagian besar difokuskan pada pengeurangan emisi di sektor kehutanan. Hanya sedikit yang menempatkan Kepulauan kecil sebagai wilayah prioritas. Tingginya kerentanan warga kepulauan serta rendahnya kapasitas tidak berimbang dengan ancaman dan kerentanan yang ada. Untuk itu, kebijakan penanggulangan bencana dan adaptasi perubahan iklim harus menempatkan kepulauan kecil sebagai prioritas berdasarkan kerentanan iklim dan ancaman bencana yang ada. Dengan titik tekan pada kemandirian komunitas atas ketahanan pangan, air bersih, energi, kesehatan, dan pendidikan.
- Dalam aspek menajemen krisis atau kesiapsiagaan, akses informasi (early warning) terhadap ancaman termasuk cuaca buruk dipastikan sampai kepada masyarakat jaauh sebelum prediksi kejadian.
Referensi
[1]
BNPB, Rekapitulasi Data dan Informasi Bencana Indonesia, diakses pada tanggal
26 Desember 2011, pukul 13.24 WIB dari http://dibi.bnpb.go.id.
[2] Undang Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan.
[3] Khudori, Makalah Sistem
Pertanian Pangan Adaptif Perubahan Iklim, 2011. Hal. 4.
[4] BNPB, Peraturan
No.7 tahun 2008 tentang tata cara pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.
[5] Widiyanto, Nanung.
Berlindung Di Balik Mitos, Adaptasi Kultural Penduduk Kampung Kendahe,
Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara terhadap Bahaya Letusan Gunung Awu. Thesis S2
Antropologi, Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM. 2012.
[6] Ibnouf, Fatma Osman. The
role of women in providing and improving household food security in
Sudan; Implication for reducing hunger and malnutrition, Journal of
International Women’s Studies Vol.10 #4 May 2009.
[7] John Ulaen,
Alex. (2003). Nusa Utara dari Linatsan niaga le daerah perbatasan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. Hal. 142.
[8] Widiyanto, Nanung.
Lipang, Tersudut di Persiampangan, Bingkai Indonesia, 2012. Hal. 22.
No comments:
Post a Comment