“Kami hanya menyesuaikan diri
dengan kondisi lingkungan yang ada. Banjir semakin tinggi, kami harus meninggikan rumah kami. Biar banjir tidak masuk ke dalam rumah. Tapi, saya bingung
kalau banjirnya semakin tinggi”.
Muhammad Ali – Warga Demak
Di wilayah
yang rutin didatangi banjir atau rob, model bangunan rumah umumnya telah menyesuaikan dengan ancaman banjir;Model rumah panggung, lantai yang lebih tinggi atau bangunan dua lantai. Tersedia juga tempat aman dari air banjir untuk menyimpan berbagai barang berharga. Lebih dari itu, warga juga telah menyiapkan peralatan mobilisasi atau penyelamatan diri
seperti perahu, perahu karet, ban dalam mobil, kompan atau pelampung. Demikian juga pada jenis mata pencaharian. Masyarakat umumnya memiliki lebih dari satu jenis mata pencaharian
yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan.
Apa yang dilakukan komunitas pada
kawasan banjir merupakan bentuk penyesuaian diri dengan lingkungan. Penyesuaian
tersebut akan bertahan dan berkembang mengikuti perubahan-perubahan yang
terjadi sampai pada batas kemampuan komunitas itu sendiri untuk bertahan hidup.
Pemanasan global yang mempengaruhi pola iklim secara global menjadi landasan berpikir kritis. Apakah berbagai upaya penyesuaian yang telah ada mampu bertahan mengahadapi kemungkinan perubahan yang lebih ekstrem. Luasan dan tinggi banjir meningkat, arus air lebih tinggi atau waktu banjir menjadi lebih lama. Seberapa besar kesiapan atau penyesuaian diri yang telah ada mampu mengahadapi ancaman banjir yang semakin meningkat? Bagaimana dengan wilayah yang sebelumnya tidak mengalami banjir saat menjadi wilayah baru yang ikut tergenang?
Banjir baru satu dari sekian
ancaman bencana yang berkorelasi erat dengan perubahan iklim. Angin
ribut/topan, longsor, kekeringan, kebakaran dan wabah merupakan bentuk lain
yang berpotensi bencana. Menjadi
lebih komplek ketika berbagai ancaman bencana tersebut dihubungkan dengan ancaman sekunder dari banjir;
krisis air bersih, ketersediaan pangan, sebaran wabah sampai tindak kriminal
akibat berhentinya sektor pendukung perekonomian warga.
Pengurangan risiko bencana tidak
bisa lepas dari perubahan iklim. Dari beberapa kasus kejadian
bencana, dampak perubahan iklim secara langsung mempengaruhi tingkat risiko
bencana. Peningkatan risiko terjadi karena dampak perubahan
iklim memicu peningkatan bahaya, meningkatkan kerentanan serta
menurunkan kapasitas.
Dari sisi kuantitas, bencana yang di picu oleh faktor hidrometeorologi menempati jumlah terbanyak. Demikian juga dari sisi kerugian. Dari ata BNPB, 95 % dari kejadian bencana di Indonesia berhubungan erat dengan iklim. Sedangkan sisanya merupakan bencana geologis dan akibat manusia. Banjir menempati posisi tertinggi kejadian di Indonesia sebesar 34%. Kejadian lain dengan jumlah tinggi adalah kebakaran, kebakaran hutan dan lahan (17%), tanah longsor (13%), puting beliung (13%), dan wabah (12%)[1].
Dari sisi kuantitas, bencana yang di picu oleh faktor hidrometeorologi menempati jumlah terbanyak. Demikian juga dari sisi kerugian. Dari ata BNPB, 95 % dari kejadian bencana di Indonesia berhubungan erat dengan iklim. Sedangkan sisanya merupakan bencana geologis dan akibat manusia. Banjir menempati posisi tertinggi kejadian di Indonesia sebesar 34%. Kejadian lain dengan jumlah tinggi adalah kebakaran, kebakaran hutan dan lahan (17%), tanah longsor (13%), puting beliung (13%), dan wabah (12%)[1].
Bagi
Indonesia dan negara berkembang lainnya, dampak perubahan iklim semakin berat
karena kemampuan adaptasi belum sepenuhnya disiapkan dengan baik. Pada hal yang
paling mendasar, seperti data dan informasi saja, masih belum mampu
terdistribusikan ke masyarakat. Sementara, berbagai upaya antisipasi
penanggulnagan bencana; baik tindakan preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan
masih belum menjadi prioritas utama. Paling tidak, kita dapat melihatnya dari
ketersediaan anggaran negara, baik di nasional maupun daerah masih jauh di
bawah terget ideal yang didorong oleh PBB, sebesar 30 % total dana APBN/APBD.
Tulisan ini disusun sebagai media memperkaya wacana mengenai integrasi adaptasi perubahan iklim dan
pengurangan risiko bencana. Harapanya, Materi-materi dalam briefing paper ini dapat dikembangkan dan
menjadi media diskusi bagi para praktisi, akademisi maupun sektor swasta
sebagai bentuk partisipasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dan
Adaptasi Perubahan Iklim.
Penyebab Perubahan Iklim
Gas
Rumah Kaca (Efek Rumah Kaca) dapat digambarkan sebagai sebuah proses.Rumah kaca adalah analogi atasbumi
yang dikelilingi gelas kaca. Panas matahari masuk ke bumi dengan menembus
gelas kaca tersebut berupa radiasi gelombang pendek. Sebagian diserap oleh
bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi gelombang
panjang. Namun, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke angkasa
menyentuh permukaan gelas kaca dan terperangkap di dalam bumi. Layaknya
proses dalam rumah kaca di pertanian dan perkebunan, gelas kaca memang
berfungsi menahan panas untuk menghangatkan rumah kaca. Masalah timbul
ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di
atmosfer (Gas Rumah Kaca/GRK) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya
dan menyebabkan pemanasan global.
|
UU 32/2009 PPLH Pasal 1 (19) mendefinisikan Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan
langsung atau tidak langsung oleh
aktivitas manusia sehingga menyebabkan
perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
Perubahan iklim,
yang dipicu oleh pemanasan global lebih diakibatkan oleh peningkatan jumlah
emisi Gas Rumah Kaca (GRK)di atmosfer. Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas
yang pada saat terakumulasi di atmosphere dan menciptakan selubung kemudian
menimbulkan gangguan pada pelepasan panas dari bumi ke luar lapisan atmosphere.
Gas yang memungkinkan untuk hal tersebut terjadi adalah: Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen
oksida (N2O), Hidrofluorokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs), dan Sulfur
hexafluoride (SF6).
Energi dari
matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya
bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atomsfer
(uap air, karbondioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang
dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural
ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti
yang ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan suhu udara
di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60° F/15° C.
Permasalahan muncul
ketika konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bertambah. Sejak awal revolusi industri,
konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer bertambah mendekati 30%, konsetrasi
metan lebih dari dua kali, konsentrasi
asam nitrat bertambah 15%.
Penambahan tersebut
telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi. Mengapa
konsentrasi gas rumah kaca bertambah? Para ilmuwan umumnya percaya bahwa
pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia lainnya merupakan penyebab
utama dari bertambahnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca.
Laporan
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan (2006) mengungkapkan
bahwa, "Sektor peternakan adalah satu dari dua atau tiga penyumbang
terbesar bagi krisis lingkungan yang paling serius dalam setiap skala, mulai
dari lokal hingga global."Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon
berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal
dari semua kendaraan di dunia!
Sementara, koalisi
masyarakat sipil untuk keadilan iklim, sebuah forum organisasi non pemerintah
di Indonesia yang memfokuskan pada advokasi keadilan iklim mengungkapkan - pemanasan global lebih disebabkan pada ketimpangan
pola produksi, konsumsi dan gaya hidup yang mendorong eksploitasi SDA melampaui
kemampuan alam memulihkan dirinya. Sampah-sampah sebagai implikasi memenuhi
kebutuhan dan produksi menjadi kontributor utama pemanasan global berbaur
dengan eksploitasi SDA yang berlebih.
Kebakaran hutan,
pembukaan hutan dan pemanfaatan kawasan gambut untuk perkebunan skala besar,
pertambangan, perumahan, atau infrastruktur merupakan sumber penyebab pemanasan
global di Indonesia.
Akibat kebakaran
hutan, Indonesia ditempatkan sebagai penyumbang C02 ke empat di
dunia. Sedangkan akibat laju kerusakan hutan yang 1,8 juta hektare per tahun, Indonesia bahkan tercatat
dalam buku rekor dunia (Guinness Book of
World Records) sebagai negara dengan kerusakan hutan terbesar di dunia[3].
Pemanasan global diikuti
dengan perubahan iklim yang memicu peningkatan curah hujan di beberapa belahan
dunis yang menimbulkan banjir dan erosi. Sementara di belahan bumi lain bias
jadi mengalami kekeringan yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu.
Dampak perubahan iklim
Implikasi
perubahan iklim saat ini sudah menjadi momok bagi banyak negara, termasuk
Indonesia. Meningkatnya intensitas curah hujan menyebabkan banyak wilayah
Indonesia teredam banjir, banjir bandang dan longsor. Hal yang cukup menghawatirkan
dari curah hujan yang lebih tinggi dengan waktu relatif pendek adalah kemampuan
bendungan-bendungan buatan yang terdapat dibanyak wilayah untuk menahan volume
air.
Waduk
atau Dam besar menjadi dilematis. Satu sisi, Dam atau waduk masih dianggap sebagai
salah satu cara memanfaatkan sumberdaya air untuk berbagai kepentingan.
Menyediakan air baku, irigasi, pembangkit listrik, perikanan atau rekreasi
merupakan manfaat Dam. Selain fungsi DAM juga untuk pengendali banjir. Namun
sisi lain, keberadaaan waduk menjadi menjadi teror ketika fungsi waduk tidak
lagi berfungsi atau over capacity.
Ketidak
mampuan waduk menahan volume air dan menjadi bencana terjadi di Queensland dan
Brisbane, Australia. Dibukanya bendungan Wivanhoe karena tidak lagi mampu
menahan volume air dari curah hujan yang ada, menyebabkan banjir di dua kawasan
menjadi sangat parah.
Perubahan Iklim merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dalam setudi mutakhir memperlihatkan bahwa masalah pemanasan yang terjadi 50 tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia. Pemasan global di masa depan lebih besar dari yang diduga sebelumnya. |
Sebaliknya,
kemarau yang lebih kering dan panjang mengancam ketersediaan air bersih dan
kebutuhan air untuk pertanian. Ketahanan pangan dan mata pencaharian penduduk
akan terganggu. Karena sektor ini merupakan mayoritas bagi penduduk Indonesia.
Berbagai
dampak negatif perubahan iklim secara langsung akan mempengaruhi sektor-sektor
penting, antara lain:
Air;
Dari tahun ke tahun air cenderung menurun
akibat pencemaran lingkungan dan kerusakan daerah tangkapan air dan perubahan
iklim.Pola curah hujan yang berubah-ubah juga
mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih.
Di wilayah pesisir, kesulitan
air tanah dan kenaikan muka air laut akan memungkinkan air laut menyusup ke
sumber-sumber air bersih. Di daerah sub polar serta daerah
tropis basah diperkirakan rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air akan
meningkat sebanyak 10-40%. Sementara di daerah subtropis dan daerah tropis yang
kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga daerah sekarang sering
mengalami banjir dan kekeringan akan semakin parah kondisinya.
Pangan;
Ancaman
terhadap ketahanan pangan dapat langsung dirasakan masyarakat pesisir, dataran tinggi, pedesaan maupun
perkotaan. Kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2°Cdi daerah tropis akan
meningkatkan frekuensi kekeringan dan banjir. Akibatnya produktivitas pertanian seperti Indonesia akan
mengalami penurunan[4].
Naiknya permukaan laut akan
menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan
udang.
Dept.
Pertanian menyampaikan, periode 1993-2002 angka
rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan mencapai 220.380 hektar
dengan lahan puso mencapai 43.434 hektar atau setara dengan hilangnya 190.000
ton gabah kering giling.
Khudori, Pengamat pangan nasional,
menyebutkan kekeringan merusak tanaman padi rata-rata seluas 90.000-95.000
hektar per tahun (Khudori, 2011)[5].
Energi;
Dari data 8 waduk (4 waduk kecil dan 4
waduk besar di Jawa) menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian El Nino
Southern Oscilation (ENSO) seperti tahun 1994, 1997, 2002,2003, 2004, dan 2006
kebanyakan pembangkit listrik yang dioperasikan di 8 waduk tersebut
memproduksilistrik di bawah kapasitas normal (Indonesia Country Report, 2007)[6].
Kurangnya pasokan
energy dari sektor terbaharukan akan mendorong pemenuhan listrik bersumber dari
bahan bakar fosil (batu bara atau BBM). Kondisi tentu akan semakin meningkatkan
konsentrasi gas rumah kaca dan akan memperburuk kondisi iklim global.
Kesehatan
Badan kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh
terjadinya curah hujan di atas normal dan juga oleh pergantian cuaca yang
kurang stabil. Seperti setelah hujan
lebat berganti menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal
tersebut mendorong perkembang biakan
nyamuk dengan cepat. Tiga
penyakit dikategorikan sebagai pembunuh utama yang
sensistif terhadap perubahan iklim antara lain; Undernutrition
membunuh 2,7 juta/tahun, Diare; 1,8 juta/tahun danMalaria 1,1
juta/tahun (WHO, 2007).
Di Indonesia, laju kejadian DBD di berbagai
kota besar di Pulau Jawa daritahun 1992-2005
meningkat secara konsisten (Indonesia Counry Report, 2007).
Perubahan iklim pengaruhnya terhadap wilayah
Pesisir
Ancaman utama dari perubahan iklim pada wilayah pesisir
adalah kenaikan air laut dan abrasi. Sebagai Negara kepulauan yang memiliki
lebih dari 80.000 kilometer garis pantai, desa dan kota di Indonesia umumnya
tumbuh dan berkempang di wilayah-wilayah pesisir.Sekitar
42 juta penduduk Indonesia mendiami wilayah yang terletak 10 meter di atas
permukaan laut.
Ancaman hilangnya pemukiman penduduk pesisir bukan
persoalan sederhana. Hilangnya pemukiman akan diikuti oleh migrasi
besar-besaran pada wilayah-wilayah lain yang dinilai aman. Persoalan yang akan
muncul adalah; ketersediaan dan status lahan, pemukiman baru, akses terhadap
sumberdaya maupun ketersedian mata pencaharian. Persoalan lain terkait dengan
sosial budya, politik maupun ekonomi yang lebih komplek.
Dataran tinggi;
Perubahan dalam pola curah
hujan akan bervariasi bergantung pada lokasi. Para petani yang akan paling
sengsara adalah mereka yang tinggal di wilayah dataran tinggi yang dapat
mengalami kehilangan lapisan tanah akibat erosi. Hasil tanaman pangan dataran
tinggi seperti kedelai dan jagung bisa menurun 20 hingga 40 persen[8].
Ancaman tanah
longsor pada wilayah-wilayah dataran tinggi, tidak saja mengancam wilayah
pemukiman. Tapi juga wilayah pertanian atau sumber-sumber penghidupan mereka,
termasuk sumber-sumber air bersih. Longsor kerap menjadikan banyak wilayah
dataran tinggi terisolir karena jalan utama terputus atau tertimbun tanah
longsor.
Di wilayah yang berbatasan dengan hutan,
gangguan hama dan binatang liar pun kerap terjadi. Kondisi ini diperburuk
dengan semakin rusaknya habitat satwa liar akibat berbagai kegiatan manusia di
dalamnya, yang bersifat legal maupun ilegal.
Kepulauan;
Sebagai Negara kepulauan
dengan lebih dari 13.000 pulau Indonesia amat rentan terhadap kenaikan muka air laut.
Kenaikan 1 meter saja dapat menenggelamkan 405.000 hektar wilayah pesisir dan
menenggelamkan 2.000 pulau yang terletak dekat permukaan laut beserta kawasan
terumbu karang.
Kajian
khusus dampak kenaikan muka air laut pada hilangnya pulau belum pernah
dilakukan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan antara tahun 2005 dan 2007
Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil: 3 pulau di Nanggroe Aceh Darussalam,
3 di Sumatera Utara, 3 di Papua, 5 di Kepulauan Riau, 2 di Sumatera Barat, 1 di
Sulawesi Selatan, dan 7 di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta.
Perkotaan
Kenaikan muka air laut
antara 8 hingga 30 centimeter akan berdampak parah pada kota-kota pesisir
seperti Jakarta,
Semarangatau Surabaya yang akan makin
rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Masalah ini sudah menjadi makin
parah di Jakarta karena bersamaan dengan kenaikan muka air laut, permukaan
tanah turun. Pendirian bangunan bertingkat dan meningkatnya pengurasan air
tanah telah menyebabkan tanah turun. Namun Jakarta memang sudah secara rutin
dilanda banjir besar: pada awal Februari, 2007, banjir di Jakarta menewaskan 57
orang dan memaksa 422.300 orang mengungsi,
menenggelamkan 1.500 rumah
di antaranya rusak atau hanyut. Total kerugian ditaksir sekitar 695 juta dolar
atau sekitar 6,6 tiliun Rupiah.
Perdesaan;
Jumlah penduduk miskin di
Indonesia per Maret 2011 mencapai12,49 % atau 30,02 juta jiwa. 18,97 juta
merupakan penduduk miskin di perdesaan.
Sisa sebesar 11,05 juta merupakan penduduk miskin di perkotaan. Jumlah tersebut
dibandingkan dengan tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 0,84 % atau 1,00
juta jiwa.[9].
Kondisi ini dapat berupabah
secara signifikan akibat dampak perubahan iklim dan bencana yang diprediksi
akan mengalami peningkatan secara signifikan pada tahun-tahun mendatang. Jika
berbagai upaya mitigasi dan adaptasi tidak dilakukan secara serius, maka
prediksi tersebut akan menjadi kenyataan.
Selain mata pencaharian yang
terancam, dari sisi lokasi, wilayah perdesaan di Indonesia berada pada ancaman
serius. Dari 73.067
desa yang ada di Indonesia, 10.666 desa berada di wilayah pesisir yang tersebar
di 300 kabupaten/kota. Dengan jumlah penduduk mencapai 16.420.000 jiwa.
WALHI (2008) memprediksi 14.000
desa akan hilang pada tahun 2015 akibat kenaikan air laut. Ribuan hektar tambak
akan tenggelam. Semantara, jutaan hektar sawah akan mengalami kekeringan[10].
Risiko bencana adalah perpaduan
antara bahaya/ancaman (hazard),
kerentanan (vulnerable) dan kapasitas
(capacity) pada suatu wilayah. Risiko
bencana juga dipengaruhi ruang dan waktu, selain tekanan dinamis yang akan
mempengaruhi aset atau sektor berisiko.
Secara umum, risiko bencana digambarkan
dengan komposisi rumusan :
Risk = Hazard x
Vulnerable/Capacity (R = H*V/C)
Perubahan iklim mempengaruhi
tingkat risiko bencana karena berkait erat dan mempengaruhi variabel risiko
bencana. Pemanasan global secara signifikan mempengaruhi komponen bahaya
sebagai bagian variabel risiko bencana.Pada ancaman bencana hidrometeorologi seperti banjir; probilitasnya semakin meningkat
(tinggi). Demikian juga dari sisi dampak yang ditimbulkannya. Probibilitas dan
dampak juga meningkat pada jenis ancaman bencana hidrometeorologis lainnya
seperti longsor dan badai/angin ribut.
Keterkaitan perubahan iklim yang
sangat erat juga terjadi pada ancaman bencana wabah penyakit dan hama. Pemansan
global yang menyebabkan perubahan pola iklim secara signifikan merubah pola
atau daur vektor pembawa penyakit. Kondisi ini mempengaruhi terhadap habitat
dari vektor. Perubahan-perubahan lingkungan ini dikhawatirkan akan mendorong
terjadinya migrasi vektor penyakit pada wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak
ada.
Pada risiko bencana hidrometeorologis
dan biologis, hampir tidak ada perdebatan.Perubahan iklim berkorelasi erat dan
mempengaruhi tingkat bahaya/ancaman yang ada. Meningkatnya curah hujan dalam
waktu yang pendek atau kekeringan yang lebih kering dan panjang meningkatkan tingkat
bahaya yang ada. Probibilitas dan dampak banjir akan semakin tinggi karena pengaruh
perubahan iklim.
Demikian juga dengan ancaman biologis, seperti
wabah dan hama.Menurut kajian
Kementerian Kesehatan, Nyamuk Aedes aegyptisebagai
vektor yang dapat menularkan virus dengue dan menyebabkan DBD. Akibat pemanasan
global daur hidupnya menjadi lebih pendek. Hal ini disebabkan pengaruh suhu terhadap
perkembangan nyamuk (vektor).Rata rata suhu optimum untuk perkembangbiakan
vektor berkisar antara 25-27 °C, dan memerlukan rata-rata selama 12 hari.Pada
suhu di atas suhu optimum (32-35 °C) (Focks et al 1995 Koopman et.al 1991) siklus hidup untuk Aedes menjadi lebih pendek
(rata-rata 7 hari), potensi frekuensi feedingnya lebih sering, ukuran tubuh
nyamuk menjadi lebih kecil dari ukuran normal sehingga pergerakan nyamuk
menjadi lebih agresif. Perubahan
tersebut menimbulkan risiko penularan menjadi 3 kali lipat lebih tinggi. Pada suhu ekstrim yaitu 10°C atau lebih dari 40°C perkembangan nyamuk akan terhenti (mati)[15].
Pemanasan global mempengaruhi
habitat vektor. Kelembaban, suhu, atau curah hujan merupakan komponen-komponen
yang mempengaruhi hibitat dari mahluk hidup. Sebagai bagian dari upaya bertahan
hidup atau adaptasi, mahluk hidup akan mencari wilayah baru atau bertahan
dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Jika pilihannya adalah
berpindah, maka akan ada kecenderungan penyebaran wabah pada wilayah-wilayah
yang sebelumnya tidak ada. DBD atau malaria pada dataran tinggi misalnya akan
sangat mungkin terjadi.
Prof. Suprtaman Sukowati, Ph., D., berpendapat, perubahan iklim dapat memperpanjang masa
penularan penyakit dan mengubah luas geografinya. Dengan kemungkinan menyebar
ke daerah yang kekebalan populasinya rendah atau dengan infrastruktur kesehatan
masyarakat yang kurang.Faktor lingkungan, mobilitas penduduk, urbanisasi,
kepadatan penduduk dan transportasi ikut mempengaruhi. Misalnya kasus DBD yang
meningkat Sejak 1968 sampai 2009; dari hanya 2 Provinsi dan 2 Kota menjadi 32
Provinsi (97%) dan 383 (77%) Kabupaten/Kota.Dari hanya 58 kasus[16].
Hasil kajian Hugh Tuffen bahkan menemukan hubungan signifikan antara pemanasan
global yang mempengaruhi aktifitas vulkanik dan tektonik. Pengaruh tersebut
memicu aktifitas gunungapi dan gempa. Menurutnya, Gletser dan es di banyak
gunung berapi aktif dengan cepat surut.Menurutnya pencairan es meningkatkan
frekuensiatau ukuran dari letusan gunung berapi berbahaya[17].Namun
belum banyak temuan tersebut dijadikan rujukan oleh penggiat penanggulangan
bencana maupun perubahan iklim.
Konferensi bertajuk "Climate Forcing of Geological and
Geomorphological Hazards", September 2009 di
London, Inggris, salah
satu kesimpulan yang dirangkum menguatkan hasil kajian tersebut. Perubahan iklim
merusak keseimbangan planet Bumi dan mempengaruhi ancaman bencana
geologis.
Sudah lama
diketahui bahwa antara iklim dan pergerakan kerak bumi saling berkaitan, namun
baru kini ditegaskan bahwa betapa pekanya lapisan bumi terhadap udara, es dan
air di atasnya.
"Anda tak perlu perubahan besar-besaran untuk memancing respons kerak bumi," kata Bill McGuire dari University College London (UCL), yang mengetuai konferensi ilmuwan itu.
"Anda tak perlu perubahan besar-besaran untuk memancing respons kerak bumi," kata Bill McGuire dari University College London (UCL), yang mengetuai konferensi ilmuwan itu.
Simon Dya dari
Universitas Oxford, serta McGuire dan Serge Guillas dari UCL, memaparkan bukti
bahwa bagaimana perubahan halus pada tingkat permukaan laut mempengaruhi
kegempaan di Patahan Pasifik Timur, salah satu batas lempeng benua yang memekar
paling cepat[18].
Hubungan signifakan antara
perubahan iklim terhadap peningakatan bahaya/ancaman, tentu akan mempengaruhi
pola penilaian bahaya/ancaman itu sendiri. Ini menjadi tantangan tersendiri
bagi para pihak, baik pemerintah, akademisi mapun praktisi penanggulnagan
bencana untuk memasukan komponen terkait perubahan iklim. Mencari bentuk atau
format serta komponen-komponen dari dampak perubahan iklim yang dapat
menentukan tingkatan dalam penilaian bahaya. Ancaman bencana tersebut baik
terkait dengan ancaman bencana hidrometeorologis; (banjir, longsor, angin
ribut/badai, kebakaran, atau kekeringan), biologis; (wabah, hama), maupun geologis
(erupsi, gempa atau tsunami).
Selain bahaya/ancaman, varibel
risiko bencana adalah kerentanan (vulnerable)
dan kapasitas (capacity). Komponen
kerentanan yang umum digunakan adalah aset penghidupan atau penthagon asset; human (manusia), social
(sosial – budaya), nature (sumberdaya dan lingkungan), physic (infrastruktur)
and finance (ekonomi). Beberapa yang lain menggunakan empat komponen dengan
menggabungkan human dalam sosial – budaya.
Fenomena pemanasan global yang
mengakibatkan perubahan iklim juga akan berpengaruh terhadap sistem
sosial/kependudukan dan budaya. Berbagai kajian sosial menemukan bahwa pola
hubungan sosial berkaitan sangat erat dengan pola iklim. Dengan kata lain, pola
sosial dan budaya dipengaruhi secara langsung oleh kondisi iklim setempat[19].
Kondisi ini tentu sangat berkaitan dengan kerentanan dan kapasitas sebagai
variabel risiko bencana.
Kerentanan sebagai varibel risiko bencana, dalam penilaian
komponen-komponen yang ada tidak hanya yang berkait/berhubungan langsung dengan
ancaman (hazard) yang ada. Dalam
penilaian kerentanan, komponen pengkajian pada seluruh aspek yang mempengaruhi
terhadap dampak yang ditimbulkan jika terjadi bencana.
Seperti komponen sosial budaya,
dimana sistem sosial seperti kekerabatan menjadi salah satu elemen yang dapat
menentukan tingkat kerentanan sebuah komunitas. Kekerabatan komunitas tidak
hanya terkait dengan jenis ancaman bencana. tapi lebih kepada sistem sosial
yang ada dan berkembang di tingkat komunitas. Demikian juga akses terhadap
sumberdaya, politik maupun perbankan-keuangan atau mata pencaharian.
Sekalipun elemen-elemen tersebut
tidak terkait langsung dengan bahaya, namun kondisi yang ada akan sangat
berdampak saat atau paska kondisi darurat (krisis). Seperti mata pencaharian
tunggal akan lebih rapuh dibandingkan komunitas yang memiliki dua atau lebih
jenis mata pencaharian. Tidak adanya akses politik komunitas atau jejaring
memposisikan komunitas lebih rentan saat atau paska bencana dibandingkan
komunitas dengan akses politik yang kuat. Karena bantuan maupun dukungan dalam
penanganan bencana menjadi lebih cepat dan menjadi prioritas.
Sedangkan kapasitas, penilaian
untuk melihat tingkatannya adalah hanya yang terkait langsung dengan ancaman
yang ada. Seperti kesiapsiagaan, peran serta masyarakat maupun kebijakan yang
didalamnya termasuk kelembagaan penanggulangan bencana.
Dampak perubahan iklim secara
signifikan telah mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tidak saja
gagal panen yang dihadapi petani saat ini, tapi juga gagal tanam akibat kacaunya
sistem cuaca, banjir, longsong, gangguan hama atau kekeringan berkepanjangan.
Kemampuan menghadapi fenomena tersebut, baik berupa pengetahuan, teknologi
maupun sumberdaya yang ada menjadi topik tersendiri dalam menentukan tingkat
kerentanan. Demikian juga kecenderungan kelangkaan air untuk memenuhi kebutuhan
pertanian yang kerap memicu konflik ditingkat komunitas. Konflik yang terjadi
berpenaruh besar terhadap sistem kekerabatan yang juga menjadi komponen dari
penilaian kerentanan.
Sedangkan pada kapasitas,
komponen-komponen yang ada dapat langsung dihadapkan pada dampak perubahan
iklim yang memicu tingkat bahaya yang ada. Seberapa besar kesiapsiagaan
komunitas, masyarakat atau pemerintah menghadapi peningkatan ancaman bencana
yang dipengaruhi oleh perubahan iklim. Peningakatan ancaman ini dapat berbentuk
luasan, durasi, frekwensi, intensitas dll. Demikian juga dari sisi peran serta
masyarakat maupun kebijakan yang ada; kelembagaan maupun pendanaannya.
Komponen-komponen dari kemampuan;
kesiapsiagaan, peran serta maupun kebijakan sangat mungkin menurun jika
dihadapkan pada dampak perubahan iklim. Menurun kerena apa yang sudah ada
sebelumnya tidak lagi mampu mengahadapi ancaman bencana yang meningkat akibat
perbubahan iklim yang terjadi. Salah satu contoh kasus adalah, rencana
kontijensi yang sudah dibuat untuk menghadapi banjir tidak dapat menangani
besaran banjir yang mungkin terjadi. Demikian juga dari sisi pendanaan yang
tersedia.
Hal spesifik dari dampak
perubahan iklim adalah berjangka panjang. Namun begitu, dari berbagai hasil
kajian ilmiah, berbagai kecenderungan ke depan telah dapat diprediksi. Termasuk
wilayah atau luasan genangan - baik
akibat curah hujan yang tinggi maupun peningkatan muka air laut. Demikian juga
dampak lain yang ditimbulkan seperti longsor, kekeringan atau wilayah-wilayah
rawan angin ribut.
Apabila
langkah-langkah penanganan yang konkret tidak segera dilaksanakan, maka
target-target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) untuk
bidang-bidang yang berkaitan dengan kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan akan
sulit dicapai. Bahkan, ada kemungkinan, target-target pembangunan yang telah
tercapai selama puluhan tahun ini, juga terancam. Oleh karena itu, agenda
adaptasi perubahan iklim harus diimplementasikan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi.
Integrasi Adaptasi Perubahan Iklim dan Risiko Bencana
“Seluruh upaya adaptasi perubahan iklim merupakan
upaya pengurangan risiko bencana. Demikian juga sebaliknya, upaya PRB merupakan
bagian dari upaya perlawanan terhadap dampak perubahan iklim. Pada tataran
operasional – keduanya menyatu padu dalam satu tujuan yaitu ketahanan sebagai
wujud dari perlindungan dan keselamatan untuk kehidupan bermartabat.”
Integrasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan
Adaptasi Perubahan Iklim (API) merupakan upaya menyatukan keduanya sebagai satu
kesatuan yang utuh. Disadari, dalam kontek praktik, upaya API – PRB tidak dapat
dipisahkan. Perbedaan muncul lebih dikarenakan isu atau disiplin keilmuan yang
membidangi keduanya. Selanjutnya menurunkan perbedaan-perbedaan dalam
pendekatan untuk melihat pokok persoalan yang ada. Pada tujuan akhir, keduanya
kembali menjadi satu kesatuan yang utuh; menempatkan perlindungan dan keselamatan
sebagai sasaran akhir. PRB maupun API menempatkan manusia mampu mengurangi
risiko yang diakibatkan oleh ancaman bencana maupun dampak buruk perubahan
iklim.
Penanggulangan bencana (PB), merupakan upaya mengurangi
kerentanan atas bahaya sekaligus meningkatkan kapasitasdan menurunkan kerentanan pada seluruh komponen
dari aset penghidupan (sunstainable
livelihood/penthagon asset); human, social, physic, nature and finance.
Sedangkan dari sisi kapasitas, pada tiga komponen utama; preparedness (kesiapsiagaan), partisipasi (participatory) maupun kebijakan (policy), termasuk kelembagaan yang lebih tangguh dalam menghadapi
ancaman bencana yang meningkat akibat perubahan iklim. Sedangkan dalam kontek
perubahan iklim, PRB merupakan strategi atau pendekatan dalam adaptasi.
Keduanya memilki hubungan signifikan. Hal yang
penting untuk dilakukan adalah saling menguatkan pendekatan-pendekatan yang
telah berkembang. Salah satunya adalah kajian kerentanan terhadap dampak
perubahan iklim yang menggunakan prediksi ke depan (30 – 60 ke depan) sebagai
basis analisis tingkat kerentanan sebuah komunitas atau kawasan. Penggunaan
data-data iklim dalam rentang waktu panjang secara konstan (20 – 30 tahun ke
belakang sampai saat ini) untuk menarik prediksi iklim ke depan merupakan hal
penting untuk dipertimbangkan dalam kajian risiko bencana. Sehingga hasil
kajian berupa tingkat risiko bencana dapat menggambarkan hasil jangka panjang.
Kajian risiko bencana dengan mengintegrasikan
variabel iklim secara signifkan akan mempengaruhi pengelolaan risiko yang ada;
baik dalam bentuk tindakan preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan. Demikian
juga dalam proses rekonstruksi bencana dengan prinsip “build back better”.
Dalam kontek pembangunan, integrasi PRB dan API mengarah pada
penggabungan pertimbangan perubahan iklim (adaptasi dan mitigasi) dan
pengurangan risiko becana ke dalam program pembangunan yang telah, sedang atau
akan dilakukan. RPJMN yang telah memasukkan penanggulangan bencana dan
perubahan iklim sebagai prioritas menjadi landasan integrasi API dan PRB.
Program-program pengurangan risiko bencana yang
diintegrasikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan berkelanjutan
dengan mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim. Karena perubahan iklim
sebagai basis analisis akan mempengaruhi model atau design upaya preventif,
mitigasi maupun kesiapsiagaan dari ancaman bencana.
Pembangunan
kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim di masa depan harus didasarkan
pengalaman dan kemampuan yang dibangun dalam mengatasi resiko iklim saat ini.
Dengan demikian, penyusunan agenda adaptasi terhadap perubahan iklim harus
dikaitkan dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN-PRB).
RAN-PRB yang telah disusun oleh Pemerintah Indonesia merupakan bentuk komitmen
terhadap Resolusi PBB 63/1999. RAN-PRB
bertujuan untuk mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana termasuk yang
berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam seperti perubahan
iklim.
Antara
perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana sebagai lintas isu dan lintas
sektor memposisikan keduanya dapat masuk ke seluruh perencanaan pembangunan,
baik yang bersifat makro maupun mickro.
RPJPN/RPJPD
sebagai perencanaan jangka panjang, maupun RPJMN/RPJMD sebagai rencana
pembangunan jangka menengah, sejatinya tidak harus melihat keduanya dengan
secara visual tertera dalam bentuk kalimat atau kata; perubahan iklim dan
pengurangan risiko bencana atau penanggulangan bencana. Karena sangat disadari,
perubahan iklim, baik dalam kontek mitigasi maupun adaptasi dan penanggulangan
bencana menjadi satu kesatuan dengan isu-isu yang telah ada. 14 prioritas dalam
RPJM dari mulai ; reformasi birokrasi dan tata kelola, pendidikan, kesehatan,
penanggulangan kemiskinan, infrastruktur sampai bidang kesejahteraan rakyat
jika secara jernih melihatnya dalam kontek kekinian Indonesia yang rentan
dampak perubahan iklim dan bencana maka mutlak menempatkan kedua sebagai dasar
pijakan sebagai bentuk perwujudan mandat konstitusi negara; melindungi segenap
bangsa dan tumpah darah...[20]
Pengurangan
risiko bencana tidak sebatas tersedia dan mampu melakukan evakuasi saat bahaya
datang dan peringatan dini berbunyi. Mampu dengan cepat membangun dapur umum,
menggerakan sumberdaya atau menyediakan anggaran untuk kondisi krisis. Lebih
dari sekedar membangun kesiapsiagaan.
Menyadari
wilayahnya rawan bencana dengan beragam jenis ancaman serta dapak yang
ditimpulkan bagi kehidupannya merupakan langkah awal dari upaya PRB. Melakukan
berbagai upaya sebelum bahaya terjadi, dari mulai tindakan preventif, mitigasi
maupun kesiapsiagaan adalah langkah strategis lanjutan sebagai bentuk nyata
PRB.
Pelaksanaan
kegiatan adaptasi juga harus berjalan bersamaan dengan usaha pemberantasan
kemiskinan dan kegiatan pembangunan ekonomi karena masyarakat miskin merupakan
golongan masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Berbagai upaya sistematis menyiapkan diri menghadapi ancaman bencana tidak saja
dibebankan pada salah satu pihak. Tapi bekerja bersama dengan menyadari tugas
dan fungsinya masing-masing. Baik di tingkat pemerintah/pemerintah daerah,
masyarakat maupun sektor swasta.
Menurunkan
tingkat kerentanan ekonomi pada bidang pertanian sebagai mata pencaharian
perdesaan - dilakukan selaras dengan
pengentasan kemiskinan. Anomali cuaca yang terjadi dan bagaimana komunitas
petani mempu mengakses data dan informasi terkait iklim, benih yang lebih tahan
atau sesuai dengan kondisi lingkungan saat ini, kemampuan bertani menjadi
bagian dari sektor lain.
Kuatnya
perekonomian warga secara langsung menurunkan salah satu variabel risiko
bencana. Hal yang sama juga dapat dilakukan pada komponen-komponen kerentanan
lain; seperti infrastruktur, sosial budaya maupun sumberdaya alam. Demikian
juga pada komponen kapasitas; peran serta/partisipasi, kesiapsiagaan maupun kebijakan-kelembagaan.
Secara
alamiah, banyak komunitas telah melakukan upaya-upaya adaptasi seiring kondisi
lingkungan yang ada dan perubahan-perubahan yang terjadi. Penyesuaian diri
sebagai bentuk adaptasi ini kerap tercermin dalam berbagai bentuk dan pendekatan.
Tidak jarang bentuk yang masih berjalan menggunakan simbol atau kepercayaan
setempat. Alas larangan (hutan terlarang), kraton demit (kerajaan mahluk halus)
atau sejenisnya kerap disandarkan pada sebuah wilayah yang tidak boleh
diganggu. Simbol lain adalah dengan cara membuat ritual atau perayaan, dongen
atau cerita turun temurun.
Bentuk
lain yang lebih terlihat secara visual adalah model bangunan rumah, jenis
tanaman pertanian, jenis mata pencaharian, atau sistem sosial – budaya yang
ada. Pada kawasan banjir, bangunan rumah umumnya tinggi. Memiliki tempat
penyimpanan yang aman dari banjir, terdapat mekanisme penyimpan makanan. Pada
jenis tanaman pertanian pun umumnya telah menyiapkan beberapa jenis pertanian
yang lebih tahan terhadap banjir. Tersedia tanaman pangan alternatif
(umbi-umbian). Atau tanaman pertanian telah selesai panen sebelum banjir
sampai.
Beberapa
komunitas, lebih memilih meninggalkan rumah atau pemukimannya menjelang dan
saat banjir tiba. Dan akan kembali setelah banjir surut dan kembali melanjutkan
kehidupan mereka.
Berbagai
bentuk penyesuaian akan terus berkembang seiring dengan perubahan yang terjadi.
Secara alamiah, kemampuan tersebut akan dapat berimbang dengan perubahan yang
ada. Namun, seberapa besar proses alamiah tersebut mampu menghadapi perubahan
yang terjadi lebih cepat akibat pemanasan global.
Anomali
iklim yang menyebabkan intensitas cuaca buruk dan badai lebih sering akan
dihadapi nelayan dan komunitas kepulauan.
Cuaca yang tidak menentu yang menyebabkan curah hujan tidak merata,
lebih tinggi dan pendek sampai saat ini menyulitkan petani untuk memulai
menanam atau risiko gagal panen menjadi lebih besar. Sementara hama pun menjadi
ancaman lain karena habitat atau pola siklus hidupnya yang juga terganggu.
Demikian
juga dengan dampak-dampak lain dari perubahan iklim. Kemarau yang lebih kering
dan panjang yang dapat memicu dampak ikutan seperti kebakaran, krisis air
bersih, gagal panen, mal nutrisi atau kelaparan dll.
Berbagai
dampak buruk dari perubahan iklim akan berujung pada bencana.
“suatu gangguan serius terhadap
keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada
kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui
kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan
sumberdaya mereka sendiri(ISDR, 2004).
UU No 24 tahun 2007,
pasal 1 (1) memaknai bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupanmasyarakat yang
disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehinggamengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakanlingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Untuk
tidak sampai dampak perubahan iklim menjadi bencana, upaya adaptasi perlu
dilakukan. Kemampuan komunitas menghadapi dampak bahaya dengan sumberdaya yang
mereka miliki sendiri menjadi idikator utama, bahaya tidak selalu menjadi
bencana.
RAN
PI lebih lanjut menjelaskan terkait strategi adaptasi antara lain :
Upaya
adaptasi perubahan iklim harus dilakukan melalui beberapa pendekatan:
- mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang,
- meninjau kembali dan menyesuaikan inisiatif atau program yang ada sehingga menjadi tahan (resilience) terhadap perubahan iklim,
- melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola resiko iklim,
- mendorong daerah otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan resiko iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah,
- memperkuat informasi dan pengetahuan untuk mengurangi resiko iklim sekarang dan masa yang akan datang,
- memastikan tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional,
- memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi pembangunan nasional, dan
- mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
Adanya
perbedaan terminologi mitigasi dalam penanggulangan
bencana dan perubahan iklim hanya terletak pada obyek dari mitigasi sendiri.
Mitigasi merupakan kata dasar yang secara terminologi dapat digunakan untuk
objek apapun. Seperti mitigasi gunungapi yang mengartikan peredaman terhadap
bahaya dari erupsi gunungapi maupun ancaman lahar dingin. Mitigasi juga juga
digunakan untuk ancaman bencana tanah longsor, banjir dll.
Mitigasi
dalam perubahan iklim digunakan untuk mengurangi gas rumah kaca sebagai
penyebab dari pemanasan global.
[1]. BNPB, Data dan
Informasi Bencana Indonesia, http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id&continue=y&lang=ID,
diakses pada tanggal 26 Desember 2011.
[2]Intergovernmental Panel on Climate Change Fourth Assestment Report,
2007.
[3]Sri Wahyudi ,Kita,
Hutan, dan Tuhan ; sebuah kajian ekologis-teologis dalam usaha pelestarian
hutan, http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081030075502, diakses pada tanggal 29
Desember 2011
[4]Harian equator-kalimantan barat sebenarnta, pangan terancam karena perubahan iklim, pernyataan dr aris pramudya msi, anggota dewan nasional perubahan iklim di singkawang, 26 oktober 2011,http://www.equator-news.com/kalbar-raya/tajuk-rencana/20111026/pangan-terancam-karena-perubahan-iklim, diakses pada tanggal 21 desember 2011, hal 2.
[6]Dra.
Masnellyarti Hilman, MSc, Tata Ruang Dan
Perubahan Iklim, Deputi III MENLH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya
Alam dan PengendalianKerusakan Lingkungan.
[7]Bahan tayang pengaruh perubahan iklim sektor kesehatan;Direktorat Penyehatan LingkunganDirjen pp &plKementerian
kesehatan, 27 Oktober 2011.
[9]BPS, profil Kemiskinan di Indonesia, maret 2011,
www.bps.go.id
[11] Pernyataan Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta,
Kamis 30 Desember 2010, Dikutip oleh Koran Kompas.com, Potensi bencana meningkat, http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/31/0456163/Potensi.Bencana.Meningkat, diakses pada tanggal 12 Juli 2011.
[12] Pernyataan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo
Nugroho, Independensia.com, Waspada,
Intensitas Bencana Hidrometeorologi Meningkat; http://www.independensia.com/berita-165-waspada-intensitas-bencana-hidrometeorologi-meningkat.html, 5 Mei 2011,diakses pada tanggal 10 Juli 2011.
[13]Liputan Media Civil Society Forum for Climate Justtice, di Brebes
Jawa Tengah, Maret 2011.
[14]Sebelumnya, jumlah pulau yang menjadi refrensi di
Indonesia adalah 17.480 pulau.
[15]Bahan tayang pengaruh perubahan iklim sektor kesehatan;Direktorat Penyehatan Lingkungan Dirjen pp &pl Kementerian
kesehatan, 27 Oktober 2011.
[16]Buletin Jendela Epidemiologi; Demam Berdarah Dengue, 2010, hal 13
dan 17.
[17] Hugh Tuffen, How will melting of ice
affect volcanic hazards in the twenty-first century?, 2010, hal. 2.
[18]http://www1.antaranews.com/berita/156956/perubahan-iklim-membuat-gempa-bertambah-dahsyat; diakses tanggal 19/12/2012; 11.02 wib
[19]DNPI, RAN dalam Menghadapi Perubahan Iklim, hal 2
[20]Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV
No comments:
Post a Comment