REDD, Sesat Pikir Konservasi Hutan

Begitu bersemangat orang-orang berbicara tentang REDD. Baik yang mendukung maupun yang menolak. Karena semangatknya, kadang mereka lupa dengan kondisi hutan itu sendiri. Lupa dengan masyarakat pinggiran hutan.. lupa juga kalau bumi terus memanas. Dan korban-korban pun terus berjatuhan tanpa mengerti apa yang diperdebatkan atas nama mereka.

REDD (Reduction Emission for Degradation and Deforestation), adalah satu skema global yang ditawarkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai si tertuduh utama pemanasan global. Hutan dipercaya mampu meredam GRK. Karena itu, hutan harus dijaga untuk menjalankan fungsi alamiahnya menangkap GRK sebagai sampah proses produksi, konsumsi dan gaya hidup. 

REDD, sekalipun dilahirkan melalui proses panjang penuh dinamia, namun pada dasarnya sangat simple melihat pola hubungannya. REDD tidak lebih dari sebuah transaksi ekonomi (dagang) yang berujung pada untung dan rugi. Sayangnya, pola dagang sangat lah tidak sehat karena telah terang benderang siapa yang akan mendapatkan keuntungan yang akan mengalami kerugian dan bangkrut.

Hutan yang berisi pepohonan telah dibuktikan secara ilmiah mampu menangkap GRK. karena kemampuannya tersebut, maka hutan harus dijaga eksistensinya. Untuk menjaga keberadaan hutan, dibutuhkan biaya. Untuk itu, negara-negara maju/industri atau yang dikenal dengan negara Anex 1 sebagai produsen GRK diharuskan membayar sebagai kompensasi bagi negara-negara pemilik hutan. karena telah membayar, tentu ada jaminan jika biaya yang telah dikeluarkannya digunakan sesuai dengan peruntukannya. plus bonus2 sertaan tentunya. dan jika tidak digunakan, pun harus ada sangsi-sangsi sebagai bentuk tanggung gugat.

Artinya, kondisi ini tidak lebih dan tidak kurang dengan sebuah transaksi beli kopi di Solong bukan? Pembali yang memesan kopi dan membayar, harus mendapatkan apa yang dipesannya. Jika tidak, pembeli dapat melakukan tindakan sebagai bentuk mempertahankan haknya. 

Yang menjadi persoalan, karena transaksi tersebut dipahami sebagai dagang semata, maka menjadi tidak berdampak apa-apa bagi pelestarian hutan secara menyeluruh. penetapan ulu masen misalnya seluas 750.000 ha untuk kawasan REDD, tidak menjamin sama sekali bagi wilayah lain diluar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan REDD yang disepakati. dan kenyataannya memang demikian. konsesi untuk HTI dan perkebunan tetap diberikan. demikian juga legalisasi pembukaan kawasan hutan untuk pembangunan infrastruktur, perumahan, maupun konsesi pertambangan.

Di tingkat Nasional lebih gila lagi, secara gamblang menteri kehutanan akan mempermudah izin pemanfaatan hutan untuk ekploitasi MIGAS. Setelah sebelumnya pemerintah juga memberikan ruang pertambangan pada hutan lindung dan alih fungsi rawa/gambut untuk perkebunan kelapa sawit.

Jika sudah seperti ini, lalu dimana posisi REDD sebagai skema global untuk mereduksi pemanasan global? sementara berbagai aktifas yang meningkatkan pemanasan global terus dilakukan dan dilegalisasi?

Dan, kita masih sibuk berdiskusi, saling menyalahkan dan saling serang tentang REDD, menerima atau menolak. atau bahkan tidak bersikap atas REDD?

Sementara, perubahan iklim terus menelan korban. baik melaui banjir, longsor, kemarau berkepanjangan, naiknya permukaan air laut atau wabah yang berpotensi menjadi bencana. Masih kah kita mempertahankan ego dengan sejumput pengetahuan kita tentang REDD untuk saling mempertahankan argumentasi. 

Atau kita sudah mulai melangkah dengan tegar, kembali mendudukan persoalan pengelolaan hutan yang jauh dari ideal? Dari mulai tapal batas, hak masyarakat adat yang tidak diakui, konflik satwa liar, kebijakan yang tumpang tindih dll.

Aceh Timur, 18 April 2010

No comments:

Post a Comment