Pasar Ekstrem Tomohon

"Pemuda itu dengan sigap menghantam kepala salah satu anjing dengan ujung kapak. Si anjing masih berusaha bangun dengan pekikan yang bagi saya lebih mirip suara manusia saat itu. Tanpa ampun, diulangnya hantaman kedua, ketiga dan keempat sampai tubuh anjing itu terkapar".

Babi, ular, anjing, kucing, tikus, kelelawar dan beberapa tubuh hewan lain memenuhi meja-meja pasar. Rasa mual spontan hinggap di kepala. Aroma menyengat berhasil menggagalkan rencana saya untuk mendokumentasikan seisi Pasar Tomohon sebagi kenang-kenangan. 
Saya dan tiga teman saya; Memei, Ade dan Lukman, saling pandang dengan kening mengkerut. Seakan tak percaya dengan apa yang ada di hadapan kami. Tapi tak lama kemudian, ditemani supir yang adalah penduduk Manado, mereka dengan gagah memasuki pasar dan mulai memainkan camera smartphone mereka. Aku, sadar dengan kondisi tubuh yang tidak cukup fit, memilih menunggu di luar pasar. Tapi masih cukup jelas untuk menyaksikan apa yang terjadi di Pasar Tomohon pagi itu. Terlalu jelas bahkan.
Tidak jauh dari posisi saya berdiri, kira-kira 3 meter, seorang pemuda berotot terlihat berlumuran darah. Tangan kanannya menggenggam kapak yang seluruhnya dipenuhi darah, lendir dan sisa-sisa kecil potongan daging. Sadar dengan keberadaan saya yang beda diantara semua pengunjung pasar, dia senyum dan menawarkan diri untuk difoto. Saya mendekat. Dia meraih seekor anjing yang sudah kaku dan gosong seraya menyodorkannya ke arah saya. Dan jepret.
"Sudah Mas, makasih yaaaa."
"Sama-sama", balasnya dengan senyum manis. 
Senyum dan otot pemuda itu mengingatkan saya pada instruktur-instruktur saya di gym. Hanya saja mereka tidak setragis pria Tomohon ini.
Saya mundur lagi ke posisi saya semula, merapat di bawah payung nesar penjual sayur. Pemuda tadi berbalik badan masuk ke dalam pasar. Beberapa menit kemudian kembali dengan menyeret sebuah keranjang berisi 2 ekor anjing. 
"Mungkin itu stok buat disembelih besok", pikirku.
Di luar dugaan. Pemuda itu membuka penutup atas keranjang dan dengan sigap menghantam kepala salah satu anjing dengan sebuah kapak. Si anjing masih berusaha bangun dengan teriakan melengking berkali-kali. Tapi Si pemuda beorotot tak menyerah, diulangnya hantaman kedua, ketiga dan keempat sampai tubuh anjing itu terkapar. Bunyi keras hantaman besi ke tulang tengkorak dan pekikan anjing itu membuat saya menciut di pojok pasar Tomohon. 
Tubuh anjing itu masih terlihat megap-megap. Saya melihat si pemuda tadi meraih selang dan menyulutnya. Dengan sigap dia memainkan ujung selang yang kini mengeluarkan api ke sekujur tubuh anjing. Tak butuh waktu lama, anjing yang tadi berwarna coklat terang kini berubah hitam dan kaku. 
Di dalam keranjang, seekor anjing lain terlihat menciut sambil sesekali mengelurkan pekikan yang lagi-lagi tidak mirip suara anjing. Atau memang begitu pekikan anjing, entahlah.
Merasa cukup dengan pemandangan di Pasar Tomohon pagi itu, kami balik badan melanjutkan perjalanan, menikmati sisi lain Kota Tomohon. Rasa lapar karena tak sempat sarapan seketika hilang. Kami memutuskan singgah di sebuah mesjid, untuk bersih-bersih. Di sana, kami menghabiskan sedikit waktu berbincang dengan pengelola mesjid yang juga difungsikan sebagai sekolah bagi Muslim. Mesjid Al Mujahidin namanya, adalah satu-satunya mesjid di Kota Tomohon yang juga difungsikan sebagai Islamic Center bagi warganya Kota Tomohon yang hanya 10% beragama Islam.
Kami mencoba segenap usaha melupakan pemandangan di pasar Tomohon. Sialnya, Memei tak henti-hentinya mengaduh. Memei ingin segera tiba di rumah dan memeluk kucingnya.

1 comment: