Rindu Mak

Salah satu hal yang paling saya bangga dan syukuri adalah memiliki orang tua sekeren Ayah dan Mak. Ayah, bukan seorang pejabat pemerintah, PNS atau pengusaha kaya raya. Ayah hanya pengusaha material bangunan kecil-kecilan di kampung. Usah yang dirintis bersama Wak Hasan, abangnya. Dengan penghasilan yang tak seberapa, Ayah berusaha segigih mungkin memperjuangkan pendidikan kami, ketujuh anak-anaknya. 

Ada Global Warming di Warkop

Salah satu publikasi di Badan Penanggulangan Bencana
Bantayan, Philippines (Sumber: Ina, 2015)
“Banda Aceh sekarang kok tambah panas ya?”, ungkap Sarah ringan di sela menikmati kupi Ulee Kareng, di antara kerimunan pengunjung Dhapu Kupi. Spontan Rahmat menanggapinya enteng sambil memainkan sendok kecil pengaduk sanger di depannya. “Akh…masa sih? Bukannya Banda Aceh dari dulu emang panas? Kan kota pesisir, udah pasti panas dong. Coba kau ke Takengon atau Bener Meriah,  pasti dingin”.

Sarah yang sedikit merasa diremehkan menanggapi balik: 

“Enggak juga, Takengon atau Bener Meriah sekarang gak sedingin dulu juga. Emang kamu gak ngerasa apa kalau cuaca di Banda Aceh itu lebih panas. Hujan juga gak bisa jadi diprediksi. Saat musim kemarau seperti sekarang, eh masih ada hujan. Saat musim hujan, malah kadang panas. Kasian petani. Acamannya bukan lagi hanya gagal panen - tapi juga gagal tanam".



Obrolan ringan di atas kerap terdengar tidak sengaja mensikapi kondisi cuaca di Aceh. Betul, akibat pemanasan global (global warming), suhu rata-rata permukaan bumi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Secara sederhana, pemanasan global dapat dirasakan melalui suhu panas saat siang hari yang berbeda dengan sebelumnya (lebih panas). Demikian juga curah hujan yang lebih besar pada satu musim dibandingkan sebelumnya. 

Dampaknya dapat dilihat saat musim penghujan, kejadian banjir dan tanah longsor lebih sering terjadi. Dan saat kemarau  kekeringan melanda lebih banyak wilayah, bahkan wilayah yang sebelumnya tidak  pernah terjadi banjir atau kekeringan. Pemanasan global selanjutnya menyebabkan kacaunya siklus alamiah iklim, sehingga disebut dengan perubahan iklim (climate change).


Aceh, juga tak lepas dari dampak perubahan iklim tersebut. Paling tidak, dalam dua tahun terakhir ini, suhu panas di  Aceh saat kemarau terasa lebih panas. Sementara saat musim penghujan, curah hujan lebih besar/tinggi dan menyebabkan bajir, banjir bandang dan longsor. Badai atau angin ribut pun lebih sering melanda beberapa wilayah di Aceh. Bahkan penyebaran wabah penyakit seperti diare, penyakit kulit, malaria, DBD dan lain-lain semakin meluas.

Tidak hanya Aceh, wilayah lain di Indonesia pun mengalamai hal yang sama. Baik di Jawa seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta atau Surabaya, Kalimantan, Sulawesi atau Papua. Di Semarang misalnya, terjadi perubahan curah hujan secara tidak normal. Saat musim kemarau sering terjadi hujan curah hujan yang tinggi. Demikian juga di Yogyakarta; intensitas dan luasan kawasan yang mengalami kekeringan dan angin ribut semakin tinggi dan meluas. (Friends of the Earth Jepang, 2009).



Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuan dari seluruh dunia, mengungkapkan bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. 

Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir! IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan nitrogen dioksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. 

Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.

Kondisi ini tidak terlepas dari tuntutan kemudahan manusia dalam menjalani kehidupannya di bumi. Paska ditemukannya mesin dan energy listrik sebagai alat bantu, manusia sangat mengandalkan atau bahkan tergantung atas keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, rumah, perhiasan, kendaraan bermotor, televisi dll yang sangat besar dipenuhi melalui produksi besar-besaran.  Sifat manusia tidak pernah puas mendorong pola konsumsi tidak terbatas. Dan sisa-sisa produksi atau sisa konsumsi menjadi sampah yang juga menjadi persoalan besar masyarakat modern saat ini.


Atmosfer merupakan lapisan pelindung bumi dari radiasi sinar matahari yang mengandung  gas seperti karbondioksida, nitro oksida dan metan. Gas-gas tersebut merangkap panas bumi, mereka dinamai “Gas rumah kaca”. Gas rumah kaca ini bisa berfungsi menahan panas Matahari agar tidak dilepas kembali seluruhnya ke angkasa, sehingga bisa menjaga bumi tetap hangat. Selama bumi masih dalam temperatur yang “nyaman” bagi manusia, hewan dan tumbuhan untuk bertahan hidup, yaitu 60 F/16 C, pemanasan adalah hal yang baik. 

Namun, ketika terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang melebihi dari batas normalnya, panas bumi akan terperangkap dan tidak bisa dipantulkan lagi ke angkasa, dan bumi akan semakin panas. Proses inilah yang menyebabkan Global Warming atau Pemanasan Global.



DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN UPAYA MENGURANGINYA


Masyarakat dunia telah menyadari dampak perubahan iklim yang dapat mengancam seluruh kehidupan di bumi. Mencairnya es di kutub serta pucak-puncak gunung bersalju menyebabkan permukaan air laut naik. Ini akan mengancam kehidupan masyarakat yang tinggal di pesisir. Bahkan Negara kepulauan seperti Maldivas diprediksi akan hilang. 

Indonesia sendiri sebagai Negara kepulauan akan kehilangan banyak wilayah jika air laut naik, kehilangan banyak pulau dan an desa-desa pesisir akan berubah menjadi hamparan laut. Tentu dibutuhkan tempat lain di dataran yang lebih tinggi sebagai tempat tinggal. Kita bisa membayangkan, bagaimana repotnya jika kondisi ini terjadi.

Tidak hanya itu, akibat dari perubahan iklim merupakan krisis kehidupan yang serius, baik dari sisi ekologis, mata pencaharian, maupun keberlangsungan kehidupan di bumi. Dampak pemanasan global yang telah dirasakan dan berdampak buruk bagi kehidupan antara lain:

  • Pergeseran musim atau pergantian musim yang tidak menentu: Ini diakibatkan oleh adanya perubahan tekanan dan suhu udara. Musim kemarau berlangsung lebih  lama dan lebih kering. Kondisi ini meningkatkan risiko bencana kekeringan. Gagal tanam, gagal panen, krisis air bersih, kebakaran lahan akan berdampak pada krisis kesehatan dan berujung pada krisis kemanusiaan. Sementara pada musim penghujan, curah hujan akan sangat tinggi dan berlangsung dalam waktu yang cukup singkat. Kondisi ini akan memicu banjir dan tanah longsor. Kerentanan masyarakat pada kawasan-kawasan banjir dan longsor akan menyebabkan banjir, banjir bandang dan longsor menjadi bencana kemanusiaan yang memprihatinkan. 
  • Krisis pangan dan kemanusiaan: Perubahan iklim secara langsung mempengaruhi terhadap produksi pangan dunia. Gagal tanam ataupun gagal panen akibat tanaman pangan terendam banjir, longsor,  kekeringan atau serangan hama menjadikan produksi pangan terganggu. Kurang atau terbatasnya stok bahan pangan  dapat mengakibatkan krisis kemanusiaan berupa gizi buruk dan bencana kelaparan. Krisis pangan pun dapat memicu tingginya angka kriminal, kerusuhan dan konflik sosial.
  • Wabah dan munculnya penyakit baru: Perubahan iklim dapat memicu migrasinya vector pembawa penyakit dari lokasi asal. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak terdapat penyakit akan terancam akibat perpindahan vector tersebut. Malaria misalnya. Wabah pun dapat terjadi akibat bencana lain seperti banjir, longsor atau bencana yang dipicu oleh alam seperti gempa bumi, tsunami atau gempa bumi. Buruknya kondisi pengungsian, seperti sanitasi dan air bersih akan memunculkan wabah diare, ISPA, penyakit kulit dll. Sangat dimungkinkan munculnya penyakit-penyakit baru yang sebelumnya tidak dikenal. Perubahan iklim akan mendorong vector pembawa penyakit untuk migrasi dan melakukan adaptasi pada tempat baru. Flu burung dan flu babi dipercaya oleh sebagaian ahli akibat dari perbuahan iklim. Vector pembawa penyakit bermigrasi dan menetap pada hewan ternak serta menginfeksi dan menjadi penyakit bagi manusia. Demikian juga kasus sapi gila di inggris.
  • Krisis air bersih: Krisis air bersih akan menjadi pemandangan harian ke depan. Selain rusak dan tercemarnya sumber-sumber air yang ada seperti sungai, sumur maupun mata air, perubahan iklim yang menyebabkan kemarau lebih panjang akan menyebabkan volume air menjadi berkurang. Rusaknya ekosistem dan daerah tangkapan air akibat alih fungsi lahan akan semakin memperparah ketersediaan air bersih sebagai penopang kehidupan. 
  • Gangguan ekologis: Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan global. Hukum alam akan berlaku, hanya mahlum hidup yang mampu beradaptasi yang dapat melanjutkan kehidupannya. Upaya adaptasi yang dilakukan hewan adalah dengan melakukan migrasi serta menyesuaikan pola kehidupannya. Migrasi hewan ke wilayah baru akan berbenturan dengan satwa yang telah ada sebelumnya. Kemungkinan migrasi satwa ke pemukiman penduduk menjadi sangat mungkin. Punahnya species akibat ketidak mampuan melakukan adaptasi dari perubahan iklim telah banyak diprediksi ahli.  Kondisi ini akan berpengaruh bagi kehidupan manusia secara langsung maupun tidak langsung akibat terjadinya gangguan pada ekosistem.


  • Naiknya permukaan air laut


Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat. Kondisi ini menyebabkan volumenya membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan bumi juga akan mencairkan salju di Kutub dan puncak gunung bersalju. Tentu ini akan menambah volume air laut. Akibatnya, permukaan air laut meningkat dan menggenangi daratan. Tidak saja pemukiman penduduk di pesisir yang akan terancam, tapi juga Negara-negara kepulauan akan hilang dari peta dunia.


Semua permasalahan hanya contoh kecil dari dampak pemanasan global.  Pola hidup tidak ramah lingkungan secara langsung maupun tidak telah memicu peningkatan gas rumah kaca di udara. Sebagai gambaran, karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil  adalah  : 36 % dari Industri energi (Pembangkit Listrik/kilang minyak),  27 % dari sektor transportasi,  21 % dari sektor Industri, 15 % dari sektor rumah tangga dan jasa dan 1 %   dari sektor lain (Body Shop Indonesia)



Aktifias sehari-hari yang berkontribusi terhadap pemanasan global antara lain :

Membiarkan listrik atau alat elektronik menyala saat kita tidak menggunakan atau menggunakan kendaraan pribadi yang tidak begitu penting, mengkonsumsi daging, atau menggunakan kantong plastic merupakan bagian dari penyebab perubahan iklim. Dari data yang dikeluarkan bodyshop dapat dilihat, energy listrik digerakan sebagian besar digerakan melalui bahan bakar fosil. Demikian juga bahan bakar untuk transportasi sebagian besar masih menggunakan bahan bakar fosil.


Pola hidup praktis dan boros merupakan bagian dari upaya tidak ramah lingkungan sekaligus mendorong pemanasan global semakin kritis. Sampah adalah sisa atau barang yang tidak kita butuhkan dari barang yang kita manfaatkan. Kemasan dari berbagai barang  pabrik umumnya menjadi sampah. Demikian juga kantong-kantong plastic sebagai media pembungkus atau tempat atau wadah barang yang kita beli. 


Bahan-bahan tersebut, baik terbuat dari plastic, kaleng, gelas maupun stereoform akan membutuhkan waktu yang sangat lama terurai secara alamiah. Membakar umum dilakukan untuk mempercepat proses pemusnahan. Selain zat kimia meracuni bumi kita, juga berkontribusi menambah jumlah carbon di atmosfir.


Menebang tanaman

Salah satu fungsi tanaman adalah merubah/menyerap carbondioksida (CO2) dan memproduksi oksigen (O2).  Carbondioksida tidak betul-betul hilang, namun sebagian tersimpan dalam tanaman tersebut. Saat tanaman di tebang atau terbakar, CO2 kembali dilapaskan oleh tanaman dan memenuhi udara atau melapisi ozon. Hilangnya tanaman juga akan sangat mempengaruhi penyerapan CO2 di bumi.





Community-Based Risk Reduction


Indonesia is a country that is highly prone to hazards due to its geographical position. Historical disaster data have shown that the country has experienced numerous major disasters such as earthquakes, tsunamis, landslides and volcanic eruptions. Indonesia’s position in the equatorial zone with its tropical climate that has two seasons poses other potential hazards: floods, land mass movement, windstorms, drought, forest and land fires, and diseases and epidemics.